Langsung ke konten utama

[CERPEN] Akhir Pertemuan

Cerpen ini pertama kali dipublikasikan oleh Harian Radar Surabaya edisi Minggu, 5 Nopember 2017.


1)
Di matamu semakin dalam kulihat ribuan penyesalan terbenam. Mengapa kau dan aku dipertemukan pada waktu yang membuat bisu. Tanda tanya itu tak pernah berubah sedikit pun menjadi titik. Sebelum akhirnya kita bertemu malam ini. Mengubur air mata yang masih tersisa di kelopak, yang kemarin tak kunjung mengering.
Setelah kepastian itu benar-benar kudapatkan maka aku putuskan untuk pergi malam itu juga. Melepaskan semua harapan semu. Menanggalkan kisah-kisah indah yang kini hanya mengundang air mata jika dikenang. Sebab kau telah memilih jalan ini. Aku akan mengingat malam ini, bukan tentang malam terakhir kita bertemu bertatap-tatapan, bukan perihal malam di mana masih bisa kunikmati matamu dengan leluasa. Ini malam akan selalu kuingat sebab pada malam ini kujatuhkan seluruh air mata dan kenangan tentangmu hingga kering. Sampai tak ada lagi yang kuingat tentangmu, selain malam ini.
“Hei sudahlah, kupikir tidak ada yang perlu disesali. Kita telah bahagia dengan pilihan masing-masing.”
Aku tak dapat berbohong jika di hatiku masih menyimpan puing-puing namamu yang mudah untuk disatukan kembali. Tapi seperti itu katamu, aku hanya bisa menahan air mata agar tak luruh jatuh di depanmu.
Dalam perjalanan pulang ingatanku pelan-pelan lesap oleh wajahmu. Membuatku susah menerima dengan kepala yang jernih. Apakah aku benar seorang pecinta sejati? Tapi mengapa bisa jatuh untuk kedua kali? Padahal tak ada perempuan yang sempurna. Kau atau dia sama saja.
2)
Malam itu secara tiba-tiba kau mengundangku untuk bertemu. Setelah beberapa tahun menenggelamkanku pada kesedihan yang berair keruh. Kau datang diikuti tanda tanya serupa. Langkahmu seolah menerangkan kepastian. Menjelaskan keinginan bahwa kerinduan harus dituntaskan, dan api yang menyala harus dipadamkan. Walau sedikit terulur, tapi waktu tak dapat berdusta.
“Aku bukanlah pengobral bualan. Maka malam ini aku datang memenuhi ajakanmu. Sekarang mulailah apa yang mau kau ceritakan.”
“Kau tak ada bedanya dari pertama kali kita bertemu, selalu buru-buru. Santailah sedikit.”
Laki-laki itu menghela napas, ia merasa seperti tengah diolok-olok wanitanya.
“Bagaimana kabarmu?”
“Seperti yang kau lihat.”
“Kau tampak tidak baik.”
“Sejak kau tinggalkan.”
“Apa? Masih saja melagu, ingat kekasihmu.”
“Ah, sebenarnya kau ingin membicarakan apa? Aku tak punya banyak waktu untuk hal remeh-temeh seperti ini.”
“Hmmm… baiklah. Jadi begini, rasanya tidak adil kalau tidak memberitahukan kabar ini kepadamu….”
“Kau mau menikah?” Potong lelaki itu.
“Hahaha…,” gelak tawa perempuan itu tersiar memecah malam, “kau ini terlalu serius, sudah kubilang santailah sedikit.”
“Jadi?”
Laki-laki itu tak mengubah ekspresi wajahnya, masih tetap ketat melekat di sana.
“Besok adalah hari wisudaku. Rasanya tidak adil jika kau tidak kuberitahu. Karena sejatinya kaulah orang yang membangkitkan semangatku sejak awal ketika memulai tugas akhir ini. Kau yang kerap mendukungku, menemani dan mendoakan agar segera selesai. Jadi aku mau kau hadir di sana.”
“Oh, ya, selamat ya….”
Wajahnya mulai longgar, kali ini sudah dapat tersenyum pula.
“Nah, begitu dong kelihatan senyumannya.”
Suasana perlahan mencair. Serupa kenangan yang dicairkan perempuan itu hingga berhasil membuat sang lelaki kembali pada masa-masa mereka berdua tengah menjalin kasih, melahap waktu berkongsian. Ia jadi ingat banyak hal tentang kebersamaan mereka, bahkan yang telah dilupakan sekalipun. Perempuan itu seperti sedang menunjukkan kembali album lama berdebu. Perempuan itu seperti memanggil kembali puing-puing kenangan yang berkeliaran memencar, dan mereka semua datang.
“Oh ya, aku tak bisa berlama-lama, sampai bertemu besok.”
3)
Jelang tengah hari, Padon bergegas menuju kampus Lita. Ia sudah memberi kabar akan datang. Ia juga sudah mengatakan ketika menunggu di gerbang. Sialnya ia tak dapat masuk karena datang belakangan. Lita tahu bahwa Padon tengah menunggu, tapi sampai acara bubar Lita tak jua menghampiri.
Tiba-tiba telepon berdering, Lita mengatakan bahwa ia harus buru-buru karena ada dua hal menimpanya. Padon tidak mendengar penjelasan secara rinci. Suara di telepon juga samar-samar termakan riuh gemuruh orang-orang yang sedang merayakan kemenangan pendidikannya. Sependengaran Padon, pertama, Lita mengalami lecet di bagian kaki ketika berdesak-desakan keluar. Ia terjatuh dan kakinya terpijak beberapa orang. Kedua, ibunda Lita jatuh pingsan karena tidak tahan keramaian, akibat tidak tahan dalam gedung yang penuh sesak. Maka mereka putuskan segera pulang. Rencana mengambil gambar, mengabadikan momen pun tidak dipikirkan lagi. Untung saja sudah berswafoto beberapa kali saat acara berlangsung, jadi ada gambar yang bisa dibagikan di media sosialnya.
“Sekarang kau telah tertular penyakit buru-buru.” Padon menggerutu dalam hati.
4)
“Kau adalah masa lalu dan aku bukanlah perempuan yang ingin hidup dalam lingkaran masa lalu. Aku membolak-balik halaman hanya untuk mencari kesalahan yang harus segera diperbaiki dan tak perlu diulangi. Bukan untuk kembali menghidupkan harapan. Maka pergilah. Sesuai kesepakatan kita, bahwa aku melupakanmu dan kau pun harus melupakan aku. Kita bukanlah apa-apa.”
Jantung Padon terhenyak dihantam sangat keras, keras sekali. Hingga membuatnya tersentak bahwa Lita memang bukanlah yang dahulu. Lita bukan lagi perempuan kunang-kunang yang selalu mengindahkan malam-malam Padon. Lita bukan lagi perempuan kunang-kunang yang kerap menghangatkan gigil malam sisa hujan. Kini Lita entah siapa.
Kata-kata itu membuat Padon jatuh terperosok ke dalam dasar kesadaran paling dalam. Itu justru sekaligus merentangkan dadanya agar semakin kokoh untuk menjadi lelaki setia.
5)
Malam itu Padon menuju tempat biasa dan berharap dapat berjumpa dengan ketenangan. Entah kenapa, sejak pertemuan dengan Lita segalanya berubah begitu saja. Ia yang mencintai kekasihnya sangat dalam bisa dengan tiba-tiba goyah. Dan kini ia ingin menetralisir perasaannya terhadap Lita, yang diketahuinya juga sudah memiliki kekasih, walau tak lebih gagah darinya.
“Hei, kau di sini juga?”
Padon menoleh mencari sumber suara. Ketika melihatnya Padon segera beranjak.
“Kenapa pergi?”
Padon diam sejenak dan menghentikan langkah.
“Hei, kenapa pergi?”
“Aku tak pernah lagi mengharapkan pertemuan.”
“Pertemuan ini bukan harapan, pertemuan ini ketetapan.”
Padon memalingkan muka dan melanjutkan langkah yang sempat terhenti beberapa saat. Walaupun Padon tak menatap wajah Lita tapi ia yakin dengan pasti kalau Lita terus menatapi kepergiannya. Meski begitu, ia tak pernah berharap agar langkahnya ditahan lagi.
Sebuah buket bunga tertinggal di atas meja. Di antara mahkota-mahkota yang bersemi itu terselip sebuah kartu dan sebuah kotak kecil dilapisi beludru merah berisi sebuah cincin bermata berlian. Lita membukanya perlahan.
Aku tahu pemberian ini terlampau kecil jika dibandingkan dengan pemberiannya,
oleh sebab itu aku mengurung niat.
Aku ingat menjanjikan ini ketika hari wisudamu tiba
Selamat bahagia….
Medan, 2016-2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat Pindah Alamat Berlangganan Indihome

sumber: google   Masa kontrakan habis, mau pindah ke kontrakan baru, tapi gimana dengan layanan indihome yang sudah terpasang? Tentu saja kita ingin memindahkan perangkat tanpa harus ada embel-embel pasang baru agar terhindar dari biaya pasang yang bernilai Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Itulah kemauan kita, tapi berbeda dengan aturan yang ditetapkan oleh pihak Telkom. Kejadian itu menimpa saya. Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke Plaza Telkom Jalan Putri Hijau Medan dengan tujuan untuk memindahkan perangkat i ndihome saya dari kontrakan lama ke kontrakan baru. Setelah naik ke lantai 2 (kantor pelayanan) saya mengantre beberapa saat, tidak pakai selembaran kertas nomor antrean, katanya mereka pakai sistem digital, pelanggan hanya dipotret, dan nanti tiba gilirannya CS akan menghampiri (sebuah inovasi pelayanan dan langkah bijak untuk menghemat pemakaian kertas). Tiba giliran saya untuk mengadu persoalan saya. Namun, jawaban sang CS tidak bisa menenteramkan hati,

[CERPEN ANAK] PR Feby

Akhirnya Redaktur Taman Riang Harian Analisa berkenan kembali mempublikasikan cerpen anak saya. Cerpen ini saya kirim bulan Oktober 2017 dan baru diterbitkan edisi Minggu, 7 Januari 2018.  Terima kasih saya haturkan, dan semoga berkenan menerbitkan cerpen-cerpen selanjutnya. Hehehe... Ayo menulis cerita anak untuk menyelamatkan anak-anak dari serangan game online dan medsos yang melumpuhkan akal. Ilustrasi: Analisa Oleh Alda Muhsi Feby merupakan murid kelas 2 sekolah dasar di SD Negeri 011. Setiap hari gurunya selalu memberikan PR dengan alasan untuk melatih daya ingat, dan membiasakan agar murid-muridnya rajin belajar. Dalam kelasnya, Feby termasuk murid yang rajin mengerjakan PR. Tak pernah sekalipun ia luput dari PR-nya. Feby telah dibiasakan orang tuanya agar sepulang sekolah harus menyelesaikan PR. Berbeda dari biasanya, hari ini sepulang sekolah Feby diajak Amanda untuk berkunjung ke rumahnya. Amanda merupakan seorang murid baru, pindahan dari Jakarta. Feby ya

Teja Purnama, Sosok Penyair Kota Medan

(Catatan ini ditulis pada tahun 2012 oleh Alda Muhsi, Ferry Anggriawan, dan Sari Uli Octarina Panggabean semasa kuliah saat bertemu di Taman Budaya Sumut) Teja Purnama Lubis, lahir di Medan pada tanggal 19 Januari 1973. Anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Asmara Kusuma Lubis dan Rosmiati. Yang kini berdomisili di jalan Karya gang Suka Damai no. 5-H Kecamatan Medan Barat. Mempunyai tiga orang anak dengan istri Awalina Nasution. Modal awal menjadi seorang penyair baginya adalah membaca. Sewaktu kecil, kakek dan ayahnya banyak meninggalkan buku sastra lama. Setiap minggunya ia juga disuguhkan majalah anak-anak seperti Majalah Bobo. Ia pun tak menyangka pada akhirnya setelah memasuki SMP, ternyata ia mencintai dunia sastra. Hal itu terlihat bahwa pada masa SMP ia telah hobi membaca puisi. Hal ini juga berlanjut pada masa SMA hingga kuliah setiap perlombaan baca puisi ia pasti mendapatkan juara 1. Setelah membaca puisi, ia juga menyalurkan bakatnya lewat tulisan ka