Oleh Alda Muhsi
Fajar ini ku terbangun dengan berjuta semangat yang menghias jiwaku. Ku yakin hari-
hari ke depan akan lebih menyenangkan dan juga akan sangat melelahkan, sebab dalam minggu
ini akan ada kegiatan di kampusku. Seperti biasa aku ikut pula berpartisipasi untuk mengisi
acara. Setelah persiapan latihan yang cukup lama, aku dan teman-teman telah siap untuk tampil
maksimal.
Beberapa saat sebelum penampilan dimulai, aku merasa resah karena tak pula kudapati
perempuanku di bangku penonton. Keresahan itu membawaku untuk segera mengirim pesan
singkat padanya melalui telepon genggamku. Ketika tanganku mulai merogoh kantong celana,
tiba-tiba telepon genggamku bergetar, dan ku baca pesan masuk, ternyata darinya, "Bang, jam
berapa penampilannya? Aku mau pergi dulu dengan teman, sudah janji dari kemarin." Membaca
pesannya itu aku sedikit lemas, namun ku coba saja untuk tidak peduli dan tidak membalasnya.
Dan tibalah saatnya dipanggil untuk penampilan.
***
Penampilan pun berakhir, semua penonton tampak terhibur. Aku dan teman-teman
merasa puas sekali. Aku masih saja menunggu hadirnya perempuanku, walau tak dapat
ia menonton penampilanku, hanya kehadirannya yang kini ku harapkan. Lama ku tunggu
dan hingga acara pun selesai. Aku sedikit bingung padanya. Akhir-akhir ini selalu saja ia
mengecewakanku.
Tiba-tiba keyakinanku harus berubah menjadi amarah, saat Rani, sahabat karib Rika
berkabar kalau ia pergi bersama bekas pacarnya. Dadaku terasa sesak sekali, mulutku seperti
terkunci dan tak dapat berkata apa-apa. Sebenar dugaanku, ternyata kembali ia ingin mencipta
sebuah rasa pada bekas pacarnya itu.
"Bang, jangan marah dulu, aku pergi menemaninya membeli obat untuk orang tuanya di
rumah yang sedang sakit parah", ucapnya melalui pesan singkat mencoba meyakinkanku. Aku
kelu, aku pilu. Aku berpikir bahwa ini seperti pertanda aku akan kehilangan dirinya lagi. Namun,
ku coba untuk biasa saja dalam menyikapi semuanya.
Tak berapa lama, aku kembali mendapat kabar. Kali ini sepucuk surat ia titipkan kepada
Rani. Karena penasaran aku segera membuka dan membacanya, "Maaf bang, sepertinya kini
ku tlah menemu cintaku. Saat dia kembali mengisi relungku, ada yakin yang tercipta padanya.
Terima kasih telah mendampingiku selama sepi menghiasi hari-hariku. Aku menyayangmu
bang." Tanpa disadari air mataku jatuh setelah membacanya. Rani yang berada di hadapku
terheran, tanpa berkata apa-apa ia lalu meninggalkanku.
Aku hanya bisa merelakannya pergi dan membangun cintanya kembali dengan bekas
pacarnya itu. Aku juga tak pernah menyesal akan berakhir seperti ini.
Walau saat bersamanya terasa sangat singkat, tapi aku merasa perubahan yang cukup
besar terjadi padaku. Aku dapat belajar banyak hal darinya. Kini dia telah pergi, hanya kenangan
yang tersisa dalam hatiku.
***
Malam pun tiba, dengan sengaja Rani berkunjung ke rumah Rika. Rani pun masih
penasaran apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Rika.
"Rik, apa yang terjadi denganmu dan Ari?" tanyanya dengan penasaran.
"Ah, tidak terjadi apa-apa Ran" jawab Rika singkat, mencoba menutupi.
"Tapi kenapa setelah Ari membaca suratmu itu, lalu ia menangis? Ada apa sebenarnya
Rik? Ayolah ceritakan padaku!" desak Rani.
"Ibunya Roy … ibunya Roy … ibunya Roy, Ran" ucap Rika dengan suara yang terisak-
isak.
"Iya, kenapa dengan ibunya Roy?" potong Rani.
"Ibunya Roy sakit parah Ran, ia meminta padaku agar tetap bersama Roy. Karena
itu yang bisa membuat perasaannya tenang. Dan aku bingung harus bagaimana, aku sangat
menyayangi Ari. Tapi di satu sisi aku juga tidak mau mengecewakan Roy dan ibunya." Ucap
Rika sambil menangis dalam pelukan Rani.
Rani pun terdiam, bingung harus berkata apa lagi.
"Tolong jangan ceritakan ini pada Ari, Ran. Aku sebenarnya sedih meninggalkannya, tapi
mau bagaimana lagi. Ini semua ku lakukan untuk menyenangkan perasaan ibu Roy, yang saat ini
sedang sakit parah."
Itulah akhir perbincangan mereka malam itu. Rani segera pulang dan tak menyangka
akan hal ini. Karena Rani tahu kalau Rika sangat menyayangiku. Rani pun berpikir bahwa yang
dilakukan Rika tiada yang salah, ia baru mengetahui betapa mulia hati sahabatnya itu.
***
Sebulan kini tlah berlalu, aku masih saja sendiri. Sempat juga teringat tentangnya dalam
khayalku. Namun, tiada pernah ku tanyakan lagi pada hatiku tentang kejadian sebulan yang lalu.
Biarlah semua menjadi kenangan dan sebuah cerita tentang perjalanan cintaku. Janji-janji yang
pernah terucap membuat bayangnya masih selalu melekat dalam benakku.
Siang tadi, tanpa disengaja ku bertemu dengan wanita yang masih dalam lingkungan
kampus. Dan kami pun berkenalan, sambil bersalaman masing-masing kami menyebut nama.
Suaranya yang merdu saat mengucap "Nina" menggetarkan bebatang hatiku. Ah, aku seperti
hilang. Ingin rasanya untuk mencintainya, tapi tak sanggup hatiku menerima perempuan lain
selain Rika. Aku telah menumpuki rasa cintaku padanya.
Perkenalan kami pun berakhir begitu saja.
***
Hari terus berjalan, namun tak lagi ku rasa seperti biasa karena saat ini dia telah
menghilang dari hidupku. Terkadang aku terkecoh dengan telepon genggamku, sempat berpikir
kenapa tak lagi ia berkabar. Ya, ternyata dia telah tiada.
Fajar ini ku terbangun dengan berjuta semangat yang menghias jiwaku. Ku yakin hari-
hari ke depan akan lebih menyenangkan dan juga akan sangat melelahkan, sebab dalam minggu
ini akan ada kegiatan di kampusku. Seperti biasa aku ikut pula berpartisipasi untuk mengisi
acara. Setelah persiapan latihan yang cukup lama, aku dan teman-teman telah siap untuk tampil
maksimal.
Beberapa saat sebelum penampilan dimulai, aku merasa resah karena tak pula kudapati
perempuanku di bangku penonton. Keresahan itu membawaku untuk segera mengirim pesan
singkat padanya melalui telepon genggamku. Ketika tanganku mulai merogoh kantong celana,
tiba-tiba telepon genggamku bergetar, dan ku baca pesan masuk, ternyata darinya, "Bang, jam
berapa penampilannya? Aku mau pergi dulu dengan teman, sudah janji dari kemarin." Membaca
pesannya itu aku sedikit lemas, namun ku coba saja untuk tidak peduli dan tidak membalasnya.
Dan tibalah saatnya dipanggil untuk penampilan.
***
Penampilan pun berakhir, semua penonton tampak terhibur. Aku dan teman-teman
merasa puas sekali. Aku masih saja menunggu hadirnya perempuanku, walau tak dapat
ia menonton penampilanku, hanya kehadirannya yang kini ku harapkan. Lama ku tunggu
dan hingga acara pun selesai. Aku sedikit bingung padanya. Akhir-akhir ini selalu saja ia
mengecewakanku.
Tiba-tiba keyakinanku harus berubah menjadi amarah, saat Rani, sahabat karib Rika
berkabar kalau ia pergi bersama bekas pacarnya. Dadaku terasa sesak sekali, mulutku seperti
terkunci dan tak dapat berkata apa-apa. Sebenar dugaanku, ternyata kembali ia ingin mencipta
sebuah rasa pada bekas pacarnya itu.
"Bang, jangan marah dulu, aku pergi menemaninya membeli obat untuk orang tuanya di
rumah yang sedang sakit parah", ucapnya melalui pesan singkat mencoba meyakinkanku. Aku
kelu, aku pilu. Aku berpikir bahwa ini seperti pertanda aku akan kehilangan dirinya lagi. Namun,
ku coba untuk biasa saja dalam menyikapi semuanya.
Tak berapa lama, aku kembali mendapat kabar. Kali ini sepucuk surat ia titipkan kepada
Rani. Karena penasaran aku segera membuka dan membacanya, "Maaf bang, sepertinya kini
ku tlah menemu cintaku. Saat dia kembali mengisi relungku, ada yakin yang tercipta padanya.
Terima kasih telah mendampingiku selama sepi menghiasi hari-hariku. Aku menyayangmu
bang." Tanpa disadari air mataku jatuh setelah membacanya. Rani yang berada di hadapku
terheran, tanpa berkata apa-apa ia lalu meninggalkanku.
Aku hanya bisa merelakannya pergi dan membangun cintanya kembali dengan bekas
pacarnya itu. Aku juga tak pernah menyesal akan berakhir seperti ini.
Walau saat bersamanya terasa sangat singkat, tapi aku merasa perubahan yang cukup
besar terjadi padaku. Aku dapat belajar banyak hal darinya. Kini dia telah pergi, hanya kenangan
yang tersisa dalam hatiku.
***
Malam pun tiba, dengan sengaja Rani berkunjung ke rumah Rika. Rani pun masih
penasaran apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Rika.
"Rik, apa yang terjadi denganmu dan Ari?" tanyanya dengan penasaran.
"Ah, tidak terjadi apa-apa Ran" jawab Rika singkat, mencoba menutupi.
"Tapi kenapa setelah Ari membaca suratmu itu, lalu ia menangis? Ada apa sebenarnya
Rik? Ayolah ceritakan padaku!" desak Rani.
"Ibunya Roy … ibunya Roy … ibunya Roy, Ran" ucap Rika dengan suara yang terisak-
isak.
"Iya, kenapa dengan ibunya Roy?" potong Rani.
"Ibunya Roy sakit parah Ran, ia meminta padaku agar tetap bersama Roy. Karena
itu yang bisa membuat perasaannya tenang. Dan aku bingung harus bagaimana, aku sangat
menyayangi Ari. Tapi di satu sisi aku juga tidak mau mengecewakan Roy dan ibunya." Ucap
Rika sambil menangis dalam pelukan Rani.
Rani pun terdiam, bingung harus berkata apa lagi.
"Tolong jangan ceritakan ini pada Ari, Ran. Aku sebenarnya sedih meninggalkannya, tapi
mau bagaimana lagi. Ini semua ku lakukan untuk menyenangkan perasaan ibu Roy, yang saat ini
sedang sakit parah."
Itulah akhir perbincangan mereka malam itu. Rani segera pulang dan tak menyangka
akan hal ini. Karena Rani tahu kalau Rika sangat menyayangiku. Rani pun berpikir bahwa yang
dilakukan Rika tiada yang salah, ia baru mengetahui betapa mulia hati sahabatnya itu.
***
Sebulan kini tlah berlalu, aku masih saja sendiri. Sempat juga teringat tentangnya dalam
khayalku. Namun, tiada pernah ku tanyakan lagi pada hatiku tentang kejadian sebulan yang lalu.
Biarlah semua menjadi kenangan dan sebuah cerita tentang perjalanan cintaku. Janji-janji yang
pernah terucap membuat bayangnya masih selalu melekat dalam benakku.
Siang tadi, tanpa disengaja ku bertemu dengan wanita yang masih dalam lingkungan
kampus. Dan kami pun berkenalan, sambil bersalaman masing-masing kami menyebut nama.
Suaranya yang merdu saat mengucap "Nina" menggetarkan bebatang hatiku. Ah, aku seperti
hilang. Ingin rasanya untuk mencintainya, tapi tak sanggup hatiku menerima perempuan lain
selain Rika. Aku telah menumpuki rasa cintaku padanya.
Perkenalan kami pun berakhir begitu saja.
***
Hari terus berjalan, namun tak lagi ku rasa seperti biasa karena saat ini dia telah
menghilang dari hidupku. Terkadang aku terkecoh dengan telepon genggamku, sempat berpikir
kenapa tak lagi ia berkabar. Ya, ternyata dia telah tiada.
Komentar
Posting Komentar