TITIPAN
Oleh
ALD Muhsi
Inilah
hari yang kutunggu. Pagi-pagi sekali aku langsung mendatangi rumahmu. Seperti
janjimu lewat Black Berry Messenger
beberapa hari lalu, datanglah hari Minggu, aku menunggumu. Sesungguhnya aku
sudah tak tahan untuk memelukmu, menumpahkan segala rindu dan keluh kesah yang
berdiam dalam dada. Ada banyak cerita yang ingin kusampaikan, dan ada satu hal
yang paling penting.
Aku
sampai di depan sebuah rumah yang kau tunjukkan kala itu. Tapi kulihat pintu
kayu yang warna catnya sudah pudar dan terkelupas itu tertutup rapat sekali.
Pagar putih lusuh yang penuh karat itu juga dirantai dan digembok. Aku mengusap
peluh yang mengalir ke seluruh tubuh. Apa aku salah rumah? Tapi tak mungkin,
aku tanda sekali dengan pohon belimbing di belakang gerbang ini.
“Kau
tandai saja pohon belimbing ini agar tak salah rumah.”
Kau
ke mana? Apa kau melupakan janji kita? Atau kau sengaja berpura-pura lupa? Atau
kau berbohong tentang rumah ini? Dasar penipu. Mungkin sudah lebih seratus kali
kau menipuku. Kalau saja ini tak penting, enggan kuhampiri kau.
Di
sebelah kulihat ada pohon mangga besar menjulang tinggi. Di bawahnya anak-anak
bermain petak umpet dengan riang. Aku menatap mereka, matanya persis seperti
matamu, kulihat yang satu lagi, rambutnya ikal seperti rambutmu, lalu kulihat
yang lain lagi, hidungnya mancung, walau tak semancung hidungmu, tapi kurasa
mirip sekali. Aku bimbang bukan kepalang, kalau bertanya pada mereka mana
mungkin mereka mengenalmu, anak-anak seumuran itu setahuku tak mengenal
nama-nama tetangganya, kecuali anak tetangga yang sebaya dengannya. Akhirnya
kutitipkan saja pesan dalam amplop ini pada mereka. Kataku tolong berikan pada
pemuda yang rumahnya di sebelah.
“Oke
kakak,” kata mereka serempak.
Lalu
mereka tersenyum manis seraya masuk ke dalam rumah untuk menyimpan titipanku.
Sambil berlalu aku berharap semoga mereka menyimpannya rapi di tempat yang
aman. Semoga juga tak sampai ke tangan ibunya.
Kau
tahu kenapa aku begitu takut surat itu hilang atau jatuh ke tangan ibu mereka?
Sebab kubaca di pintu rumahnya, kalau tak salah ibu mereka, ataupun tante
mereka, ataupun perempuan yang tinggal di situ adalah seorang polisi yang
baru-baru ini kudengar di berita menggerebek tempat pelacuran di sisi kota. Di
pintu rumahnya jelas tertera nama itu. Aku takut nanti dia salah mengira. Karena
itu adalah surat kehamilanku.
***
Aku
kembali sore-sore, memantau kau dari kejauhan, dari samping rumah anak-anak
yang kutitipkan surat tadi pagi. Aku berharap kau segera pulang. Tapi tak juga
ada pertanda, gembok pagar yang berkarat tak bergerak, seperti membatu.
Daun-daun tetap berserak di halaman, buah-buah belimbing busuk semakin banyak.
“Ma,
apa mama kenal dengan paman yang tinggal di sebelah rumah kita?”
Aku
mendengar suara itu dari sela-sela persembunyian.
“Paman
yang mana sayang? Bukannya paman itu tiga bulan yang lalu sudah meninggal?”
Jantung
siapa yang tak berdebar mendengar kata-kata itu. Aku semakin ingin mendengar
kelanjutan pembicaraan mereka. Semakin kudekatkan telingaku ke jendelanya.
“Kenapa
kalian bertanya tentang paman itu sayang? Apa kalian tadi melihatnya? Atau dia
mendatangi kalian? Kalau memang iya, barangkali kita harus menjiarahinya ke kuburan. Mungkin sudah lama ia tak
didatangi, kan saudara-saudaranya juga sudah tak ada lagi, maka kitalah orang
terdekatnya.”
“Oh, bukan, Ma, hanya tadi kakak-kakak,
mungkin lebih muda dari mama, mendatangi kami dan menitipkan surat ini untuk diberikan
kepada paman yang tinggal di sebelah,” kata anak yang paling besar.
Ah,
dasar anak-anak, tak bisa merahasiakan apa pun dari orang tuanya. Matilah aku
kalau ibu mereka membacanya. Bisa-bisa aku akan jadi buronan, dituduh pelacur
gelap yang melarikan diri.
“Oh,
apakah perempuan itu tak tahu kalau pemuda sebelah rumah telah meninggal? Tapi
dia siapanya? Kenapa tiba-tiba datang mencari lelaki itu? Coba mama lihat
suratnya.”
Ibu
dari anak-anak itu membuka surat yang kutitipkan pada anaknya.
Langit
menghitam, guntur menjerit di langit. Hujan sekejap turun sederas-derasnya. Lampu-lampu
mati, listrik padam. Kaca-kaca rumah pecah, begitu juga gelas-gelas, piring,
mangkuk, guci-guci rumah dan segala barang pecah belah. Telingaku yang berada
di dekat jendela spontan berdarah terkena percikannya.
Mungkin
kau tahu mengapa kutitipkan surat itu pada mereka. Aku pun berpikir sama.
Karena mereka masih lugu dan tak tahu menahu perihal seperti itu. Tapi ternyata
aku salah. Aku tak dapat berpikir sampai jauh, mungkin perut yang kian lama
kian membesar ini seolah melumpuhkan sel-sel yang bekerja di otakku. Aku sadar
sekilas mata mereka memang sangat menyerupaimu, pun sudah kukatakan di atas.
Tapi aku tak pernah menerka bahwa mereka adalah anakmu, yang ibunya berarti
istrimu.
Medan, Nopember 2014
Komentar
Posting Komentar