Langsung ke konten utama

CERPEN ALD MUHSI, BANJARMASIN POST 29 MARET 2015

TITIPAN
Oleh ALD Muhsi

Inilah hari yang kutunggu. Pagi-pagi sekali aku langsung mendatangi rumahmu. Seperti janjimu lewat Black Berry Messenger beberapa hari lalu, datanglah hari Minggu, aku menunggumu. Sesungguhnya aku sudah tak tahan untuk memelukmu, menumpahkan segala rindu dan keluh kesah yang berdiam dalam dada. Ada banyak cerita yang ingin kusampaikan, dan ada satu hal yang paling penting.
Aku sampai di depan sebuah rumah yang kau tunjukkan kala itu. Tapi kulihat pintu kayu yang warna catnya sudah pudar dan terkelupas itu tertutup rapat sekali. Pagar putih lusuh yang penuh karat itu juga dirantai dan digembok. Aku mengusap peluh yang mengalir ke seluruh tubuh. Apa aku salah rumah? Tapi tak mungkin, aku tanda sekali dengan pohon belimbing di belakang gerbang ini.
“Kau tandai saja pohon belimbing ini agar tak salah rumah.”
Kau ke mana? Apa kau melupakan janji kita? Atau kau sengaja berpura-pura lupa? Atau kau berbohong tentang rumah ini? Dasar penipu. Mungkin sudah lebih seratus kali kau menipuku. Kalau saja ini tak penting, enggan kuhampiri kau.
Di sebelah kulihat ada pohon mangga besar menjulang tinggi. Di bawahnya anak-anak bermain petak umpet dengan riang. Aku menatap mereka, matanya persis seperti matamu, kulihat yang satu lagi, rambutnya ikal seperti rambutmu, lalu kulihat yang lain lagi, hidungnya mancung, walau tak semancung hidungmu, tapi kurasa mirip sekali. Aku bimbang bukan kepalang, kalau bertanya pada mereka mana mungkin mereka mengenalmu, anak-anak seumuran itu setahuku tak mengenal nama-nama tetangganya, kecuali anak tetangga yang sebaya dengannya. Akhirnya kutitipkan saja pesan dalam amplop ini pada mereka. Kataku tolong berikan pada pemuda yang rumahnya di sebelah.
“Oke kakak,” kata mereka serempak.
Lalu mereka tersenyum manis seraya masuk ke dalam rumah untuk menyimpan titipanku. Sambil berlalu aku berharap semoga mereka menyimpannya rapi di tempat yang aman. Semoga juga tak sampai ke tangan ibunya.
Kau tahu kenapa aku begitu takut surat itu hilang atau jatuh ke tangan ibu mereka? Sebab kubaca di pintu rumahnya, kalau tak salah ibu mereka, ataupun tante mereka, ataupun perempuan yang tinggal di situ adalah seorang polisi yang baru-baru ini kudengar di berita menggerebek tempat pelacuran di sisi kota. Di pintu rumahnya jelas tertera nama itu. Aku takut nanti dia salah mengira. Karena itu adalah surat kehamilanku.
***
Aku kembali sore-sore, memantau kau dari kejauhan, dari samping rumah anak-anak yang kutitipkan surat tadi pagi. Aku berharap kau segera pulang. Tapi tak juga ada pertanda, gembok pagar yang berkarat tak bergerak, seperti membatu. Daun-daun tetap berserak di halaman, buah-buah belimbing busuk semakin banyak.
“Ma, apa mama kenal dengan paman yang tinggal di sebelah rumah kita?”
Aku mendengar suara itu dari sela-sela persembunyian.
“Paman yang mana sayang? Bukannya paman itu tiga bulan yang lalu sudah meninggal?”
Jantung siapa yang tak berdebar mendengar kata-kata itu. Aku semakin ingin mendengar kelanjutan pembicaraan mereka. Semakin kudekatkan telingaku ke jendelanya.
“Kenapa kalian bertanya tentang paman itu sayang? Apa kalian tadi melihatnya? Atau dia mendatangi kalian? Kalau memang iya, barangkali kita harus menjiarahinya ke kuburan. Mungkin sudah lama ia tak didatangi, kan saudara-saudaranya juga sudah tak ada lagi, maka kitalah orang terdekatnya.”
 “Oh, bukan, Ma, hanya tadi kakak-kakak, mungkin lebih muda dari mama, mendatangi kami dan menitipkan surat ini untuk diberikan kepada paman yang tinggal di sebelah,” kata anak yang paling besar.
Ah, dasar anak-anak, tak bisa merahasiakan apa pun dari orang tuanya. Matilah aku kalau ibu mereka membacanya. Bisa-bisa aku akan jadi buronan, dituduh pelacur gelap yang melarikan diri.
“Oh, apakah perempuan itu tak tahu kalau pemuda sebelah rumah telah meninggal? Tapi dia siapanya? Kenapa tiba-tiba datang mencari lelaki itu? Coba mama lihat suratnya.”
Ibu dari anak-anak itu membuka surat yang kutitipkan pada anaknya.
Langit menghitam, guntur menjerit di langit. Hujan sekejap turun sederas-derasnya. Lampu-lampu mati, listrik padam. Kaca-kaca rumah pecah, begitu juga gelas-gelas, piring, mangkuk, guci-guci rumah dan segala barang pecah belah. Telingaku yang berada di dekat jendela spontan berdarah terkena percikannya.
Mungkin kau tahu mengapa kutitipkan surat itu pada mereka. Aku pun berpikir sama. Karena mereka masih lugu dan tak tahu menahu perihal seperti itu. Tapi ternyata aku salah. Aku tak dapat berpikir sampai jauh, mungkin perut yang kian lama kian membesar ini seolah melumpuhkan sel-sel yang bekerja di otakku. Aku sadar sekilas mata mereka memang sangat menyerupaimu, pun sudah kukatakan di atas. Tapi aku tak pernah menerka bahwa mereka adalah anakmu, yang ibunya berarti istrimu.

Medan, Nopember 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat Pindah Alamat Berlangganan Indihome

sumber: google   Masa kontrakan habis, mau pindah ke kontrakan baru, tapi gimana dengan layanan indihome yang sudah terpasang? Tentu saja kita ingin memindahkan perangkat tanpa harus ada embel-embel pasang baru agar terhindar dari biaya pasang yang bernilai Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Itulah kemauan kita, tapi berbeda dengan aturan yang ditetapkan oleh pihak Telkom. Kejadian itu menimpa saya. Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke Plaza Telkom Jalan Putri Hijau Medan dengan tujuan untuk memindahkan perangkat i ndihome saya dari kontrakan lama ke kontrakan baru. Setelah naik ke lantai 2 (kantor pelayanan) saya mengantre beberapa saat, tidak pakai selembaran kertas nomor antrean, katanya mereka pakai sistem digital, pelanggan hanya dipotret, dan nanti tiba gilirannya CS akan menghampiri (sebuah inovasi pelayanan dan langkah bijak untuk menghemat pemakaian kertas). Tiba giliran saya untuk mengadu persoalan saya. Namun, jawaban sang CS tidak bisa menenteramkan hati,

[CERPEN ANAK] PR Feby

Akhirnya Redaktur Taman Riang Harian Analisa berkenan kembali mempublikasikan cerpen anak saya. Cerpen ini saya kirim bulan Oktober 2017 dan baru diterbitkan edisi Minggu, 7 Januari 2018.  Terima kasih saya haturkan, dan semoga berkenan menerbitkan cerpen-cerpen selanjutnya. Hehehe... Ayo menulis cerita anak untuk menyelamatkan anak-anak dari serangan game online dan medsos yang melumpuhkan akal. Ilustrasi: Analisa Oleh Alda Muhsi Feby merupakan murid kelas 2 sekolah dasar di SD Negeri 011. Setiap hari gurunya selalu memberikan PR dengan alasan untuk melatih daya ingat, dan membiasakan agar murid-muridnya rajin belajar. Dalam kelasnya, Feby termasuk murid yang rajin mengerjakan PR. Tak pernah sekalipun ia luput dari PR-nya. Feby telah dibiasakan orang tuanya agar sepulang sekolah harus menyelesaikan PR. Berbeda dari biasanya, hari ini sepulang sekolah Feby diajak Amanda untuk berkunjung ke rumahnya. Amanda merupakan seorang murid baru, pindahan dari Jakarta. Feby ya

Teja Purnama, Sosok Penyair Kota Medan

(Catatan ini ditulis pada tahun 2012 oleh Alda Muhsi, Ferry Anggriawan, dan Sari Uli Octarina Panggabean semasa kuliah saat bertemu di Taman Budaya Sumut) Teja Purnama Lubis, lahir di Medan pada tanggal 19 Januari 1973. Anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Asmara Kusuma Lubis dan Rosmiati. Yang kini berdomisili di jalan Karya gang Suka Damai no. 5-H Kecamatan Medan Barat. Mempunyai tiga orang anak dengan istri Awalina Nasution. Modal awal menjadi seorang penyair baginya adalah membaca. Sewaktu kecil, kakek dan ayahnya banyak meninggalkan buku sastra lama. Setiap minggunya ia juga disuguhkan majalah anak-anak seperti Majalah Bobo. Ia pun tak menyangka pada akhirnya setelah memasuki SMP, ternyata ia mencintai dunia sastra. Hal itu terlihat bahwa pada masa SMP ia telah hobi membaca puisi. Hal ini juga berlanjut pada masa SMA hingga kuliah setiap perlombaan baca puisi ia pasti mendapatkan juara 1. Setelah membaca puisi, ia juga menyalurkan bakatnya lewat tulisan ka