Langsung ke konten utama

Resensi Buku Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu oleh Rosni Lim



(Dimuat Harian Analisa, Rabu, 20 Juli 2016)

Judul : Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu
Pengarang : Alda Muhsi
Penerbit : Ganding Pustaka
Cetakan : ke-1, 2016.
Tebal : 106 halaman
Ukuran : 13,5 cm X 20 cm
ISBN : 978-602-74238-3-1


Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu adalah buku kumpulan cerpen yang berisi 20 cerita. Cerita-cerita dalam buku ini memuat ber­bagai realitas kehidupan masyara­kat kita saat ini yang seringkali terasa miris, namun tidak mampu kita untuk melawan/mengubahnya hingga pada akhirnya menghasilkan suatu sentu­han yang menggigit.

Negeri Lucu misalnya, sebagai pembuka cerita cukup berhasil mem­bawa kita melihat realitas keadaan ne­geri yang miris. Zaman sekarang, jarang yang hendak menjadi guru karena gajinya kecil. Mereka lebih memilih menjadi artis yang bisa mem­beli Mercy dalam sekejap. Ba­nyak yang ingin terkenal dan eksis di tele­visi, koran, bahkan medsos de­ngan jalan singkat tapi tak masuk akal. Banyak pula yang nekad mem­buat sensasi supaya lekas tenar. (hal. 7).

Cerita miris yang menyentuh ada pada Diorama, tentang seorang pe­main diorama yang kehilangan suami dan anaknya karena suatu kecelakaan lalu lintas. Kesedihan dan kesepian membuatnya melakukan hal-hal aneh. Dia merancang diorama berbentuk suami dan anaknya. Hari-hari selanjutnya tidak lagi sepi karena berinteraksi dan bercakap-cakap dengan kedua diorama itu layaknya suami dan anak yang masih hidup.

Mayat suami dan anaknya yang di­ku­burkan di belakang rumah, ada­lah perwujudan rasa sayang dan keti­dakrelaan untuk berpisah. Orang-orang menganggapnya gila, mengi­rim­nya ke rumah sakit jiwa, mengirim se­orang suster untuk menjaganya di rumah. Tapi dia tak merasa gila. Tak berhenti dia berharap, suatu ketika akan ada nafas atau nyawa yang di­tiup­kan-Nya pada diorama-diorama tersebut. (hal. 36).

Dalam Suatu Hari Kembang Itu Men­jadi Layu, nasib tragis menimpa Pia, primadona kampung kembang desa. Impian Pia untuk menjadi pe­nyanyi di kota ditentang oleh ayah­nya. Pia nekad pergi ke kota tanpa restu orang­tua. Tapi belum juga niat­nya ter­laksana, nasib buruk menim­panya. (hal. 49).

Ternyata nasib Pia tak sebagus wa­­jah­nya.Seringkali kejadian yang paling ditakutkan justru benar-benar terjadi, bahkan lebih buruk daripada yang dibayangkan. Ayah Pia tak mem­perbolehkan Tia ke kota menjadi penyanyi karena takut Pia yang masih belia dibohongi orang lalu terjerumus ke jalan salah. Tapi nasib buruk sung­guh tak dapat dihindari, bermak­sud menghindari kecemasan yang perta­ma, malah membuat Pia mengalami nasib buruk begitu kabur dari rumah.

Cerita yang agak berbau misteri dan mengusung tema budaya ada pada Pertunjukan Kuda Kepang.. Ta­rian Kuda Kepang sering dise­but Ku­da Lumping atau Jaran Kepang, biasa­nya dimainkan oleh 5 orang atau lebih ditambah pemusiknya. Diiringi de­ngan suara musik game­lan, gong, ke­nong, kendang, slom­pret, dan kumpul, tarian ini bisa membuat merinding, nadi berdenyut dan jantung ber­debar. (hal. 87).

Mungkin ini disesuaikan dengan makna dari tarian itu sendiri yang menceritakan prajurit penunggung kuda yang mempunyai kekuatan. Mereka seolah kebal terhadap pecutan-pecutan yang dilayangkan ke tubuh mereka dan memiliki kekuatan magis seperti memakan beling. (hal. 89). Siapa tahu, kalau pemain jaran kepang itu ternyata harus bergulat dengan nyali yang pada akhirnya menimbulkan kesan miris. (hal. 90).

Cerita-cerita dalam buku ini cenderung bergaya naratif bercam­pur deskriptif, minim dialog. Namun begitu, gaya bahasa dan kalimat-kalimat yang digunakan mampu membentuk suatu rang­kaian cerita yang lembut, indah, menyentuh, nyastra, khas tutur bahasa penyair. Walaupun pada akhinya kisah-kisahnya berujung pada nasib miris yang dialami para tokohnya, namun semuanya me­mang realitaas yang nyata kita jumpai saat ini..

Selain tema-tema masalah/kritik sosial dan tema keluarga yang miris, cerpen-cerpen di buku ini juga bernuansakan cinta sepasang insan yang tak kesampaian yang dibalut penulis dengan bahasa-bahasa syair.

Juga kejujuran akan masalah lingkungan yang membuat kita harus membuka mata dan memi­kirkannya kembali dengan baik. (Cerita Tahun 2070).***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat Pindah Alamat Berlangganan Indihome

sumber: google   Masa kontrakan habis, mau pindah ke kontrakan baru, tapi gimana dengan layanan indihome yang sudah terpasang? Tentu saja kita ingin memindahkan perangkat tanpa harus ada embel-embel pasang baru agar terhindar dari biaya pasang yang bernilai Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Itulah kemauan kita, tapi berbeda dengan aturan yang ditetapkan oleh pihak Telkom. Kejadian itu menimpa saya. Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke Plaza Telkom Jalan Putri Hijau Medan dengan tujuan untuk memindahkan perangkat i ndihome saya dari kontrakan lama ke kontrakan baru. Setelah naik ke lantai 2 (kantor pelayanan) saya mengantre beberapa saat, tidak pakai selembaran kertas nomor antrean, katanya mereka pakai sistem digital, pelanggan hanya dipotret, dan nanti tiba gilirannya CS akan menghampiri (sebuah inovasi pelayanan dan langkah bijak untuk menghemat pemakaian kertas). Tiba giliran saya untuk mengadu persoalan saya. Namun, jawaban sang CS tidak bisa menenteramkan hati,

[CERPEN ANAK] PR Feby

Akhirnya Redaktur Taman Riang Harian Analisa berkenan kembali mempublikasikan cerpen anak saya. Cerpen ini saya kirim bulan Oktober 2017 dan baru diterbitkan edisi Minggu, 7 Januari 2018.  Terima kasih saya haturkan, dan semoga berkenan menerbitkan cerpen-cerpen selanjutnya. Hehehe... Ayo menulis cerita anak untuk menyelamatkan anak-anak dari serangan game online dan medsos yang melumpuhkan akal. Ilustrasi: Analisa Oleh Alda Muhsi Feby merupakan murid kelas 2 sekolah dasar di SD Negeri 011. Setiap hari gurunya selalu memberikan PR dengan alasan untuk melatih daya ingat, dan membiasakan agar murid-muridnya rajin belajar. Dalam kelasnya, Feby termasuk murid yang rajin mengerjakan PR. Tak pernah sekalipun ia luput dari PR-nya. Feby telah dibiasakan orang tuanya agar sepulang sekolah harus menyelesaikan PR. Berbeda dari biasanya, hari ini sepulang sekolah Feby diajak Amanda untuk berkunjung ke rumahnya. Amanda merupakan seorang murid baru, pindahan dari Jakarta. Feby ya

Teja Purnama, Sosok Penyair Kota Medan

(Catatan ini ditulis pada tahun 2012 oleh Alda Muhsi, Ferry Anggriawan, dan Sari Uli Octarina Panggabean semasa kuliah saat bertemu di Taman Budaya Sumut) Teja Purnama Lubis, lahir di Medan pada tanggal 19 Januari 1973. Anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Asmara Kusuma Lubis dan Rosmiati. Yang kini berdomisili di jalan Karya gang Suka Damai no. 5-H Kecamatan Medan Barat. Mempunyai tiga orang anak dengan istri Awalina Nasution. Modal awal menjadi seorang penyair baginya adalah membaca. Sewaktu kecil, kakek dan ayahnya banyak meninggalkan buku sastra lama. Setiap minggunya ia juga disuguhkan majalah anak-anak seperti Majalah Bobo. Ia pun tak menyangka pada akhirnya setelah memasuki SMP, ternyata ia mencintai dunia sastra. Hal itu terlihat bahwa pada masa SMP ia telah hobi membaca puisi. Hal ini juga berlanjut pada masa SMA hingga kuliah setiap perlombaan baca puisi ia pasti mendapatkan juara 1. Setelah membaca puisi, ia juga menyalurkan bakatnya lewat tulisan ka