IMAJINASI
PEMBACA TERHADAP CERPEN
“EMPAT
MATA YANG MENGIKAT DUA WAKTU”
Oleh
Annisa Tri Sari*
(dimuat Harian Waspada Kolom Budaya edisi Selasa, 19 Juli 2016)
(dimuat Harian Waspada Kolom Budaya edisi Selasa, 19 Juli 2016)
Membaca
ulasan Julaiha S terhadap cerpen Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu karya Alda
Muhsi di Harian Waspada kolom Budaya edisi Selasa, 12 Juli 2016, rasanya
menggelitik perasaan saya untuk turut terjun dalam pembahasannya. Setidaknya
ada empat poin penting yang saya temukan pada ulasan Julaiha S tersebut.
Keempat poin itu akan saya paparkan di bawah ini.
Pertama,
Julaiha S mengatakan bahwa ketika membaca cerpen diperlukan adanya imajinasi
pembaca untuk memberikan gambaran mengenai isi cerpen. Ini tepat sekali,
mengingat cerpen merupakan karya fiksi yang akan membawa kita mengarungi dunia
baru, dunia khayal yang menawan. Jika tidak memiliki imajinasi yang tinggi
untuk mengimbangi karya cerpen, mau dibawa ke mana cerita-cerita yang kita
baca. Kaitannya dengan cerpen Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu karya Alda
Muhsi yang termaktub dalam buku antologi berjudul serupa adalah keterkaitan
cerpen tersebut dengan cerpen sebelumnya di dalam antologi yakni cerpen yang
berjudul, “Cerita Malam dan Kunang-kunang.” Imajinasi saya mengatakan bahwa
cerpen Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu semacam cerita lanjutan dari cerpen
Cerita Malam dan Kunang-kunang. Cobalah kita cermati dari tokoh yang hadir dan
tema yang tertuang dalam kedua cerpen tersebut. Dalam setiap cerpen terdapat 1
tokoh laki-laki dan 2 tokoh perempuan. Tema yang diusung adalah cinta segitiga
yang sangat rumit. Di mana pada Cerita Malam dan Kunang-kunang tokoh lelaki
terbebani dengan perasaan bimbang yang terus menghantuinya ketika mengenang
kekasihnya. Tidak jelas mana kekasih asli dan mana kekasih simpanan. Begitu
pula yang tergambar dari cerpen Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu, kita diajak
kembali mengenang percintaan antara tokoh lelaki yang memiliki dua orang
kekasih, tetap sama kita tak tahu mana kekasih asli dan mana kekasih simpanan.
Tokoh lelaki yang masih menyimpan bimbang dan kenangan dalam hatinya. Atas
dasar kemiripan cerita inilah saya curiga bahwa Empat Mata yang Mengikat Dua
Waktu merupakan lanjutan dari Cerita Malam dan Kunang-kunang. Apa lagi
tokoh-tokoh dalam kedua cerpen tersebut tidak bernama sehingga mengindikasikan
bahwa sebenarnya ini adalah kesatuan cerita. Di sini saya menertawai
keberhasilan Alda Muhsi dalam menjebak pembaca. Tapi jika memang demikian,
masalah yang timbul adalah mengapa judul antologi cerpen tersebut adalah Empat
Mata yang Mengikat Dua Waktu bukannya Cerita Malam dan Kunang-kunang? Saya tak
bisa berimajinasi tentang hal ini, mungkin hanya penulisnya yang tahu.
Kedua,
Julaiha S menilik dari tipografi yang menjabarkan narasi yang panjang pada awal
cerita yang membuat rasa bosan pembaca cepat datang dan dialog padat yang
membuat pembaca begitu gelisah ketika mencoba menikmatinya. Alda Muhsi
sebenarnya dapat menyusun narasi dan dialog-dialog itu menjadi lebih teratur
seperti halnya yang dituliskan pada cerpen Cerita Tahun 2070, Diorama, Mei,
Tiga Makam, Satu Mata, dan sebagainya. Saya jadi berpikir bahwa saat menuliskan
cerpen Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu sebenarnya Alda Muhsi sendiri yang
ada dalam cerita tersebut. Dialah tokoh utamanya. Dialah lelaki galau itu. Dialah
orang yang menyebabkan cerita itu menjadi semrawut. Dialah orang dalam keadaan
kalut itu. Dialah yang membuat kesan sebagai penulis egoistis. Entahlah, saya
hanya bisa menduga, lagi-lagi persoalan ini hanya penulis yang tahu.
Ketiga,
Julaiha S membedah cerpen ini dengan pisau semantik, yang mana Alda Muhsi
menghadirkan foto-foto sebagai simbol bahwa adanya orang ketiga dalam sebuah
hubungan pada cerpennya. Julaiha S mengatakan bahwa inilah bentuk dari imaji
mental. Dalam hal ini saya memaknainya sebagai tanda-tanda bahwa sebuah foto
dapat membangkitkan hasrat seseorang untuk meluapkan emosinya. Emosi di dalam
cerpen ini adalah perasaan cinta dan cemburu. Julaiha S juga mengatakan
kekuatan Alda Muhsi dalam mengemas cerpen ini terdapat pada imaji mental yang
dibangun. Saya setuju, sebab dilihat dari judul yang dipilih sudah menunjukkan
adanya imaji mental yang dibangun Alda Muhsi. Adanya semantik yang tersirat
dari judul Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu. Empat mata mengindikasikan dua orang yang menginginkan sebuah
kerahasiaan atau ruang privasi. Dua waktu
mengartikan adanya terjalin pertemuan sebanyak dua kali. jadi makna yang bisa
dijabarkan dari judul tersebut adalah dua orang yang menginginkan kerahasiaan
tapi kedekatan keduanya yang telah terikat hanya pada dua pertemuan, sedangkan
keinginan hati adalah untuk bersama selamanya. Oleh sebab itulah timbul
perasaan gundah gulana di antara keduanya, yang pada akhirnya menyebabkan
mereka harus berpisah, melepaskan, walau berat rasanya, berakhir pada kesedihan
yang mendalam. Jangan-jangan inilah alasan mengapa Empat Mata yang Mengikat Dua
Waktu dijadikan judul buku kumpulan cerpen tersebut.
Keempat,
yang terakhir, Julaiha S mengatakan bahwa tema percintaan, yang menggambarkan
perjalanan cinta seperti dituliskan Alda Muhsi dalam Empat Mata yang Mengikat
Dua Waktu sudah sering diangkat penulis-penulis lain, sebab cerita demikian
sangat dekat dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Pengemasan yang unik dan
menarik yang menjadi pembeda dan daya tarik pembaca agar terpikat dalam sebuah
cerita. Sedikit menambahkan, tema percintaan yang menarik untuk dinikmati tentu
saja suasana dengan penggambaran cerita cinta yang matang, dewasa, dan tidak
berlebihan (baca lebay) baik dalam
narasi maupun dialognya. Alda Muhsi sudah menerapkan dalam cerpen ini.
Sepertinya penulis tahu betul dan menghindari narasi serta dialog yang membuat
kita geli apa lagi merasa risih ketika membacanya.
Walau
demikian Alda Muhsi tidak dapat dikatakan serta merta berhasil dalam buku
kumpulan cerpen Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu. Ini hanyalah modal awal
untuk melangkah ke jenjang yang lebih tinggi. Sebab tak ada karya yang
sempurna. Begitu pula dalam cerpen ini. Kesempurnaan itu akan hadir ketika
pembaca dapat memaknai pesan-pesan tersirat dari karya-karya yang dituliskan
itu. Bagaimana caranya? Yang pasti setiap penulis harus mampu menggerakkan
pemikiran pembacanya lewat kata demi kata yang disusun menjadi sebuah cerita. Dalam
pemilihan kosakata tidak perlu berlagak dengan memakai kata-kata yang rumit,
tulislah kata-kata yang gampang dicerna, tapi memiliki makna yang mendalam.
Tentu saja bukan sebuah karya gampangan. Alda Muhsi sudah membuktikannya, dan
ia mampu.
*)Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana
Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Medan yang mempunyai minat dalam
masalah sastra.
Komentar
Posting Komentar