Resensi Buku Kumpulan Cerpen Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu
Oleh Sisi Rosida
Harian Medan Bisnis, Minggu, 18 September 2016
Antologi cerpen Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu karya Alda Muhsi, berisi dua puluh cerita pendek yang diangkat dari konvensi kehidupan sehari-hari. Buku ini berisi cerita-cerita yang mengangkat tema sosial, keluarga, Budaya dan cinta. Cerita-cerita di dalamnya, seluruhnya mencerminkan bagaimana kehidupan kita. Dimana hidup bisa gagal, bisa senang , atau dengan hal gila. Namun, kebahagian dan kegagalan tidaklah bersifat abadi. Seperti pada cerpen Surat Kecil untuk Bapak. Mengisahkan segala macam upaya yang dilakukan seorang Bapak demi kebahagiaan putranya. Tetapi, hal itu justru membahayakan dirinya sendiri. Bukit Telanjang, cerpen yang mengangkat kisah orang-orang tengah sibuk berpesta dengan kesenangan, tetapi mereka lupa kesenangan tidaklah bersifat mutlak.
Berbanding terbalik dengan cerpen Diorama. Menceritakan seseorang yang tidak bisa menerima keadaan. Lalu, mencoba melampiaskan - membentuk takdir hidupnya dengan hal-hal tak wajar, merugikan dirinya sendiri. Ketiga cerpen memang sama-sama mengangkat tema kekeluargaan, namun disajikan dengan konflik yang berbeda. Buku ini memberikan banyak pelajaran moral tersirat untuk pembacanya.
Buku ini menjelaskan situasi secara rinci, dengan konflik yang bertubi-tubi. Mungkin, konflik tersebut sebagai "bumbu" untuk tema yang terkesan biasa, dari cerita yang menghadirkan setting menarik untuk pembacanya. Walau pada akhirnya diiringi dengan suspense (kejutan) yang menyedihkan.
Lain lagi pada cerpen Negeri Lucu, Kalung Tanah, dan Cerita Tahun 2070. Buku ini sangat menggambarkan kondisi negeri ini. Mulai dari negeri yang digambarkan dengan keanehan yang miris, sehingga menjadi kelucuan tersendiri (Negeri Lucu). Dilanjutkan dengan limpahan kemewahan dari suatu negara.
Terlepas dari itu, kekeliruan membuat segalanya menjadi hancur . Lantas, mereka mempertanyakan di mana kehidupan yang sebenarnya (Kalung Tanah). Juga ketika air tidak lagi mengaliri bumi. Terjadi kekeringan dimana-mana, hingga air menjadi nilai tukar yang sangat berharga (Cerita Tahun 2070).
Lagi-lagi buku ini memberikan gambaran bagi kehidupan kita. Memang, begitu banyak hal yang harus diketahui, dari kehidupan yang miris saat ini. Mungkin buku ini bersifat menyindir masyarakat atau pejabat. Atau barangkali memberi nilai pembelajaran hidup bagi pembacanya.
Selain itu, kata-kata yang puitis, filosofi kekasih, dan cinta yang tergambar cerpen Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu. Berkisah sepasang kekasih yang tersendat jarak, seperti yang sering dialami para remaja saat ini dengan sebutan Long Distance Relationship (LDR). Pembaca akan menyukai diksi-diksi yang puitis, meskipun akhirnya miris.
Banyak sad ending yang dilahirkan oleh buku ini. Meskipun begitu, selain konvensi kehidupan sehari-hari, buku ini juga mengangkat sebuah kebudayaan, seperti pertunjukan kuda kepang. Seperti pada cerpen Suatu Hari Kembang Itu Menjadi layu, gadis yang kehilangan kesuciannya.
Begitu dalam, makna yang dapat digali dari buku ini. Cerita-cerita yang disajikan banyak menggandeng diksi yang tepat, sehingga kepuitisan bahasa itu menjadi estetika tersendiri. Semua cerpen mempunyai suspense (kejutan) yang menarik, menghapus kebosanan pada pembaca.
Tetapi ada beberapa hal yang juga menarik untuk dicermati. Seperti alur, cerita yang singkat membuatnya "goyang", artinya ada beberapa cerpen yang masih rancu pada pemahaman maknanya, buku ini juga dicetak dengan tulisan yang sagat kecil. Bagaimanapun isinya, buku ini tetap sarat akan makna dari konvensi kehidupan.
Penulis; Mahasiswa FKIP UMSU. Bergiat di komunitas Labsas Teater Blok dan Komunitas Fokus UMSU.
Oleh Sisi Rosida
Harian Medan Bisnis, Minggu, 18 September 2016
Antologi cerpen Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu karya Alda Muhsi, berisi dua puluh cerita pendek yang diangkat dari konvensi kehidupan sehari-hari. Buku ini berisi cerita-cerita yang mengangkat tema sosial, keluarga, Budaya dan cinta. Cerita-cerita di dalamnya, seluruhnya mencerminkan bagaimana kehidupan kita. Dimana hidup bisa gagal, bisa senang , atau dengan hal gila. Namun, kebahagian dan kegagalan tidaklah bersifat abadi. Seperti pada cerpen Surat Kecil untuk Bapak. Mengisahkan segala macam upaya yang dilakukan seorang Bapak demi kebahagiaan putranya. Tetapi, hal itu justru membahayakan dirinya sendiri. Bukit Telanjang, cerpen yang mengangkat kisah orang-orang tengah sibuk berpesta dengan kesenangan, tetapi mereka lupa kesenangan tidaklah bersifat mutlak.
Berbanding terbalik dengan cerpen Diorama. Menceritakan seseorang yang tidak bisa menerima keadaan. Lalu, mencoba melampiaskan - membentuk takdir hidupnya dengan hal-hal tak wajar, merugikan dirinya sendiri. Ketiga cerpen memang sama-sama mengangkat tema kekeluargaan, namun disajikan dengan konflik yang berbeda. Buku ini memberikan banyak pelajaran moral tersirat untuk pembacanya.
Buku ini menjelaskan situasi secara rinci, dengan konflik yang bertubi-tubi. Mungkin, konflik tersebut sebagai "bumbu" untuk tema yang terkesan biasa, dari cerita yang menghadirkan setting menarik untuk pembacanya. Walau pada akhirnya diiringi dengan suspense (kejutan) yang menyedihkan.
Lain lagi pada cerpen Negeri Lucu, Kalung Tanah, dan Cerita Tahun 2070. Buku ini sangat menggambarkan kondisi negeri ini. Mulai dari negeri yang digambarkan dengan keanehan yang miris, sehingga menjadi kelucuan tersendiri (Negeri Lucu). Dilanjutkan dengan limpahan kemewahan dari suatu negara.
Terlepas dari itu, kekeliruan membuat segalanya menjadi hancur . Lantas, mereka mempertanyakan di mana kehidupan yang sebenarnya (Kalung Tanah). Juga ketika air tidak lagi mengaliri bumi. Terjadi kekeringan dimana-mana, hingga air menjadi nilai tukar yang sangat berharga (Cerita Tahun 2070).
Lagi-lagi buku ini memberikan gambaran bagi kehidupan kita. Memang, begitu banyak hal yang harus diketahui, dari kehidupan yang miris saat ini. Mungkin buku ini bersifat menyindir masyarakat atau pejabat. Atau barangkali memberi nilai pembelajaran hidup bagi pembacanya.
Selain itu, kata-kata yang puitis, filosofi kekasih, dan cinta yang tergambar cerpen Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu. Berkisah sepasang kekasih yang tersendat jarak, seperti yang sering dialami para remaja saat ini dengan sebutan Long Distance Relationship (LDR). Pembaca akan menyukai diksi-diksi yang puitis, meskipun akhirnya miris.
Banyak sad ending yang dilahirkan oleh buku ini. Meskipun begitu, selain konvensi kehidupan sehari-hari, buku ini juga mengangkat sebuah kebudayaan, seperti pertunjukan kuda kepang. Seperti pada cerpen Suatu Hari Kembang Itu Menjadi layu, gadis yang kehilangan kesuciannya.
Begitu dalam, makna yang dapat digali dari buku ini. Cerita-cerita yang disajikan banyak menggandeng diksi yang tepat, sehingga kepuitisan bahasa itu menjadi estetika tersendiri. Semua cerpen mempunyai suspense (kejutan) yang menarik, menghapus kebosanan pada pembaca.
Tetapi ada beberapa hal yang juga menarik untuk dicermati. Seperti alur, cerita yang singkat membuatnya "goyang", artinya ada beberapa cerpen yang masih rancu pada pemahaman maknanya, buku ini juga dicetak dengan tulisan yang sagat kecil. Bagaimanapun isinya, buku ini tetap sarat akan makna dari konvensi kehidupan.
Penulis; Mahasiswa FKIP UMSU. Bergiat di komunitas Labsas Teater Blok dan Komunitas Fokus UMSU.
Komentar
Posting Komentar