Sekurang-kurangnya ada dua hal yang menjadi dasar bagi saya dalam membuat cerpen ini. Satu, banyaknya muda-mudi berpacaran di atas fly over bahkan setiap malam, khususnya di Kota Medan, yang saya rasa sangat meresahkan dan memprihatinkan. Dua, ketika saya melintasi fly over Amplas, tiba-tiba mobill pick up mendahului saya dengan laju yang bisa dibilang tidak lambat, di belakangnya tertulis "Awas Mas, Hati-hati", yang kemudian menjadi judul cerpen ini. Ya kita semua harus hati-hati, bukan dalam perjalanan, bahkan dalam kehidupan.
Cerpen ini pernah diterbitkan di Harian Analisa edisi Rabu, 27 April 2016.
Oleh Alda Muhsi
Beginilah
kerasnya kehidupan, pagi hingga malam tak boleh lelah demi mengejar uang. Siapa
lengah akan terperosok dalam ambang kematian. Hidup itu kejam, apa lagi jika
hanya berdiam. Mau tidak mau memang mestinya hidup untuk mencari sesuatu yang
berarti. Kalau tidak akan menyesal di kemudian hari. Kehidupan dan penyesalan
laiknya binatang buas, sama-sama menakutkan, dan bisa menerkam siapa saja di
mana saja. Namun, segalanya harus dilewati, sebab sudah ditakdirkan Tuhan.
Aku
bekerja 12 jam sehari. Mulai jam 8 pagi hingga jam 8 malam. Tujuan hidupku
sebenarnya bukan semata-mata uang, melainkan kebahagiaan yang hakiki. Tapi
bagaimana bisa mencapai puncak kebahagiaan tersebut, bila dalam melewati
kejamnya hidup tanpa uang. Itu sama saja bohong, maka dari itulah aku dengan
tekun mencari uang, untuk memenuhi nafkah batin agar dapat meraih tujuan hidup.
Setiap
hari perjalanan panjang harus kutempuh untuk bekerja. Jarak dari rumah ke
tempat kerjaan kira-kira mencapai 40 kilometer. Aku bekerja di sebuah pabrik
kertas di mana aku yang pertama datang dan aku juga yang terakhir pulang. Ya,
aku adalah juru kunci. Pembuka dan penutup pabrik.
Pekerjaan
itu memberikan banyak pengalaman bagiku. Tak hanya dalam bidangnya, aku juga
berpengalaman dalam berhubungan dengan orang banyak. Aku juga lebih mengerti
tentang persaingan bisnis. Mulai dari tikung-menikung sampai pula pada kasus
tikam-menikam.
Terkadang
aku berpikir bahwa segala yang kukerjakan adalah sia-sia. Bagaimana tidak, aku
hidup sebatang kara. Gaji yang kupunya entah harus kubawa ke mana. Keluargaku
meninggal setahun silam saat melakukan perjalanan ke kampung halaman untuk
menemui nenekku. Mobil yang mereka kendarai ditabrak dari belakang oleh truk
trailer, dan mereka mati di tempat.
Rasa
sesal sempat menggelayuti jiwaku, mengapa nyawa ayah, ibu, dan adik perempuanku
harus melayang dengan cara yang tragis. Dan mengapa pula harus ada janji yang
belum kupenuhi lantas mereka telah pergi meninggalkanku untuk selamanya? Ya,
aku berjanji untuk memberi mereka seorang cucu yang lucu setelah umurku 25
tahun. Namun sayang, pada umur 23 tahun mereka telah pergi dan tak mungkin
kembali.
Sejak
kejadian itu aku pun enggan untuk mencintai wanita. Hatiku masih belum bisa
menerima kepergian mereka. Kini 24 tahun aku masih belum mempunyai calon. Oh
ayah, oh ibu, oh adikku mengapakah begitu cepat kalian meninggalkanku?
Sekarang
aku bekerja 12 jam dan tak tahu untuk apa. Seakan hidupku sudah tak berarti.
Aku gagal dalam hidup. Aku hancur. Percuma saja aku mengumpulkan banyak uang,
tapi nyatanya aku tak bahagia. Aku salah besar! Kupikir dengan uang yang banyak
aku bisa dengan mudah meraih kebahagiaan, tapi ternyata tidak. Oh Tuhan mengapa
tidak Kau cabut juga nyawaku.
Sebenarnya
aku ingin menenangkan pikiran, melepaskan penat. Aku ingin cuti atau sekalian
saja mengundurkan diri. Tapi lagi-lagi yang terpikir adalah mau ke mana aku
setelah melepas pekerjaan itu.
Tak
jarang aku iri melihat muda-mudi yang berpacaran di atas arteri. Bergandeng
tangan menyaksikan pemandangan rumah-rumah yang dipenuhi lampu jalan. Walau
memang tak begitu indah, tapi kebersamaan dua hati yang saling beradu cinta
itulah yang membuat segalanya sangat indah.
Terdapat
pula kanal yang mengalir dengan elok tepat di bawah arteri tersebut. Mungkin
itulah yang mereka lihat setiap waktu. Walau kadang mengeluarkan bau yang
entah, tapi tak pula menyurutkan gelombang asmara di hati mereka.
Setiap
hari kulewati arteri yang panjangnya 700 meter itu, dan sepanjang itu jugalah
orang-orang berpacaran, bersenda gurau, bergandengan di atas kereta yang telah
diparkirkan. Ah, benar! Aku sangat iri menyaksikannya. Hatiku selalu bergetar
seakan melontarkan kata tanya: kapan?
Aku
selalu diburu rasa resah. Dihantui rasa gelisah. Belum lagi bisa kutata hati
untuk mengikhlaskan kepergian keluargaku, sudah harus kurasa pula kecamuk hati
yang merindukan seorang wanita ketika kulewati arteri itu. Keinginan itu mulai
timbul ketika rasa sepi telah menyatu dalam darah. Rasanya aku tak ingin
melewatinya, tapi tak ada jalan lain, karena itulah satu-satunya jalan yang
ada.
***
Siang
itu ada kejadian yang tak terduga di pabrik. Terjadi kecelakaan pada salah
seorang pegawai pemotong kertas. Ia terpaksa harus merelakan jari telunjuk dan
jari tengahnya hilang. Kedua jarinya terpotong oleh mesin pemotong. Darahnya
memuncrat dengan hebat. Ia pun segera dilarikan ke klinik terdekat.
Setelah
ia diobati aku segera mendatanginya.
“Kenapa
bisa terjadi, Pak?”, tanyaku luruh.
“Iya,
Mas, lagi banyak pikiran aja. Jadinya kurang konsentrasi.” Jawabnya menahan
sakit.
“Kalau
saya boleh tahu masalah apa, Pak?” tanyaku lagi kepada bapak yang kira-kira
berumur 50 tahun itu.
“Hmm...
anak saya, Mas. Kemarin waktu pulang sekolah, ketika ia hendak menyeberang
jalan, tiba-tiba sebuah mobil dengan laju yang sangat kencang menabraknya.”
Jawabnya sedih.
“Terus,
anak bapak itu di mana sekarang?”
Bapak
tersebut menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa saat. Lalu menjawab dengan
mata berkaca-kaca yang hampir pula menetes airnya.
“Kaki
dan tangannya patah, Mas. Sampai saat ini ia masih terbaring lemah di rumah
sakit.”
“Ia
adalah anak saya satu-satunya. Ia adalah harapan saya dan istri saya. Tapi
lihatlah, harapan itu kini seperti melayang-layang di atas jurang. Tinggal
menunggu hancurnya saja.” Sambungnya.
“Pak,
Anda tidak boleh bicara seperti itu....”
“Ya,
tapi lihat saja, bisa apa anak dengan kaki dan tangan yang patah sebelah.”
Potongnya.
Aku
hanya tertegun. Diam saja. Aku sangat paham perasaan hatinya, tak jauh beda
ketika keluargaku yang dipanggil Tuhan setahun lalu.
“Tapi
saya sadar bahwa inilah rencana Tuhan, mau tidak mau harus dihadapi. Setelah
ini saya juga akan mengundurkan diri dari pabrik. Saya hanya ingin memberikan
seluruh waktu untuk anak dan istri. Terlebih kepada anak saya yang pasti sangat
membutuhkan dorongan dari saya.”
Aku
hanya mengangguk saja. Mencoba menyelami kesedihannya. Tanpa berkata-kata
seketika mataku pun ikut berkaca-kaca.
“Mas,
selagi kau masih muda, kau harus selalu berhati-hati dalam hidup ini. Di dalam
segala bidang. Dan yang terpenting kau harus hati-hati dengan nyawa. Jangan
sekali-kali berani bermain-main dengan nyawa. Karena memang hidup itu untuk
berjuang.”
“Iya,
Pak, saya mengerti.”
Aku
terpukul mendengar nasihat itu. Maafkan aku Tuhan yang sudah beberapa kali
meminta untuk mati sebab kesepian dalam menjalani hidup ini. Berikan aku
kekuatan untuk menjalani kehidupan yang kejam ini, Tuhan.
***
Di
perjalanan pulang selalu terngiang kata-kata Pak Wagiman tadi. “Kau harus
selalu berhati-hati dalam hidup ini... yang tepenting kau harus hati-hati
dengan nyawa... dan janganlah sekali-kali berani bermain-main dengan nyawa....”
Ah,
makin penat saja kurasakan dalam pikiranku. Seolah aku tak tahan untuk
menyimpan segalanya. Seakan mau pecah dan terpancar keluar segala isinya.
Malam
itu entah kenapa jalanan pun tampak ricuh, kendaraan besar mondar-mandir dengan
kecepatan tinggi, sepeda motor ugal-ugalan, ditambah lagi lengking suara
klakson yang sahut menyahut, segalanya membuat pikiranku semakin tertekan.
Akhirnya
aku tiba di arteri, berharap keteduhan akan kudapati dari pasangan yang sedang
berpacaran menghabiskan malam. Berharap ada yang sedang menghitung bintang. Aku
berjalan pelan-pelan untuk menikmati kegembiraan mereka yang disampaikan
semilir angin, tapi tiba-tiba di depanku kejadian yang mencengangkan terjadi,
sepasang kekasih yang hendak menepi ditabrak oleh trailer, yang beroda lebih
dari 8, berkecepatan tinggi. Keras sekali bunyi benturan itu terdengar, kedua
korban terkapar, sepeda motor hancur berantakan. Orang-orang dengan cepat
berkerumun dan segera menyelamatkan mereka. Malam menjadi pecah.
Teriakan-teriakan, makian, serta penyesalan bercampur menjadi satu.
Aku
terperanjat pada kata-kata Pak Wagiman siang tadi, sayup-sayup ia masih
terngiang di telingaku. “Kau harus selalu berhati-hati dalam hidup ini... yang
tepenting kau harus hati-hati dengan nyawa... dan janganlah sekali-kali berani
bermain-main dengan nyawa....”
Tiba-tiba
mobil berbak terbuka melintas di depanku, di belakangnya tertulis, “Awas Mas,
Hati-hati!”
Medan,
September 2015
Komentar
Posting Komentar