Pertama kali diterbitkan oleh Harian Analisa Rubrik Taman Remaja Pelajar edisi Minggu, 12 Februari 2017.
IFA
Oleh Alda Muhsi
Ifa,
setelah kepergian itu, kepergian tanpa kata-kata perpisahan, tanpa ucapan
selamat tinggal. Aku tak pernah lagi berjumpa denganmu. Sampai waktu berlalu
sewindu, akhirnya kau pulang, kau dan aku dipertemukan. Tak ada yang jauh
berubah darimu. Bola mata hitam itu masih kuingat, segalanya masih kurekam di
bola mataku. Lalu suaramu, seperti gelas-gelas pecah yang berserakan di dadaku.
Aku terluka sejak lama ketika tak mendengar gemerincing itu. Rasanya masih
terngiang di telingaku.
Ifa,
malam ini kudapati tatapan itu. Tatapan yang memancarkan kehangatan dan seakan
memelukku untuk meredam segala kegelisahan yang dilesatkan penantian, ditiupkan
kerinduan. Aku teduh sekali. Walau tampak gagu memulai percakapan denganmu.
Baju garis-garis yang kau kenakan harum serupa aroma hatiku yang berbunga
mekar. Warna-warni ketika berada di sisimu. Aku ingin menghabiskan malam.
Seandainya boleh hanya berdua bersamamu. Kita dapat merasakan gelombang angin
malam berderai menyapu wajah-wajah lelah. Menghitung kerlip bintang
berhamburan. Juga merasakan detak jantungku berdebar syahdu mengalunkan
keinginan-keinginan.
Ifa,
sekarang aku tak sanggup berpisah lagi. Aku tak mampu menuliskan segala
keresahan ini. Aku ingin selamanya kau di sini. Di sampingku, kita arungi gelap
malam dengan hati yang hampir patah. Dan dengan harapan-harapan yang nyaris
punah. Setelah itu kita dapat merajutnya. Merampungkan kegelisahan agar berubah
menjadi damai. Jalan satu-satunya aku dapat berdamai adalah bersamamu.
Malam
itu kau datang. Aku terkesiap sebab kedatangan itu tak pernah kuduga. Ah, Ifa
semestinya kita tak perlu bertemu. Karena sesungguhnya setelah pertemuan itu,
hatiku jauh semakin mencintaimu. Sejak pertemuan itu rasanya aku semakin
tergila-gila denganmu. Hatiku terjerat dan tertambat pada hatimu. Tapi aku tahu
bahwa kau harus pergi lagi, menghilang, dan mungkin tak kembali. Langkahmu tak
berbatas sementara mataku penuh sekat-sekat yang tak mampu mengintaimu. Itu
sebabnya aku banyak belajar tentang sebuah keikhlasan. Begitulah, rasa cinta,
rasa rindu, akan semakin menggebu ketika aku berada satu tempat bersamamu,
ketika kita bertemu, dan aku belum jua menyampaikan apa-apa kepadamu.
Ifa,
akan selalu ada yang terkenang dalam setiap perjumpaan. Begitu pula akan selalu
ada yang tergenang dalam setiap perpisahan. Di ceruk mataku tertampung
bayangan-bayangan kepergian. Kesendirian. Betapa perih, bukan?
“Selamat
atas wisudanya....”
Aku
tergeragap mendengar suara itu. aku hapal betul.
“Terima
kasih, Ifa, kuliahmu bagaimana?”
“Sebentar
lagi juga selesai.”
“Oh,
syukurlah. Setelah itu mau ke mana?”
“Mau
lanjut, barangkali ke Jerman.”
“Oh.”
Kata
terakhir itu menohok dadaku hingga terbenam ke dasar lautan. Bayangan-bayangan
yang sempat terpikirkan kembali mencuat dan kali ini lebih beringas.
Aku
pernah tahu kalau kakak ibumu memang tinggal di Jerman. Lagi pula mengambil
kuliah S-2 di sana lebih menjanjikan ketimbang di sini. Tapi apakah kau tak
pernah memikirkan orang-orang yang kau tinggalkan di sini? Ternyata kau terlalu
egoistis Ifa, hanya memikirkan diri sendiri.
“Oiya,
katanya kau punya setumpuk rindu yang telah kau susun menjadi buku?”
“Apa?
Kata siapa?”
“Ya,
aku cuma dengar kabar kawan-kawan.”
Entah
harus tersipu malu atau bahagia. Rasanya hatiku berbinar, berubah menjadi
lentera jika menyangkakan bahwa Ifa sebenar memperhatikanku walau sekecil itu.
“Memangnya
itu kerinduan buat siapa? Pasti orang yang sangat spesial, Yah?”
“Ya,
aku pikir begitu. Very special!”
Ifa
tersenyum. Aku langsung menelan senyum itu, membalasnya dengan senyum yang tak
kalah indah.
Ifa,
sebelumnya aku pernah begini. Mencintai dan mengagumi diam-diam. Lalu pada
suatu malam aku sadar, bahwa perasaan harus ditunjukkan. Soal diterima atau
tidak, ditangkap atau dibuang bukanlah hal yang penting. Namun kau tahu ia
kandas sesaat sebelum kuutarakan. Aku melihat cinta itu bersama balon-balon
udara diapit kembang-kembang tujuh warna melayang dan melambung semakin jauh
tanpa pernah bisa kusentuh. Maka kali ini aku tak akan membiarkan cinta itu
terbang untuk kedua kali.
Bukankah
rindu demi rindu yang kususun itu sesungguhnya hanya untukmu. Ifa, bagaimana
jika kau tahu? Bagaimana jika aku memberitahunya sekarang? Apakah ini waktu
yang tepat? Tapi jika menunggu waktu yang tepat kupikir tak akan pernah tiba. Dan
yang pasti kau harus tahu secepatnya. Baiklah, maka malam ini akan kuungkapkan
saja. Tunggulah aku sebentar hendak ke belakang dahulu. Aku akan kembali
membawa dua gelas jus jambu. Baru setelah itu akan kukatakan kepadamu.
Aku
buru-buru ke belakang. Menghampiri kamar mandi untuk buang air kecil dan cuci
muka. Sudah kebiasaan jika sedang grogi pasti begini. Di hadapan cermin kecil
di wastafel aku membasuh muka dan membayangkan binar wajahmu yang terpancar
ketika aku mengutarakan segalanya sesaat lagi. Pikiranku buntu, tak dapat
tergambarkan apa pun. Aku semakin tidak tenang.
Dalam
ketidaktenangan itu aku mencoba membalik-balik halaman buku rindu yang baru
saja kuambil dari kamar. Ifa, aku telah siap membaca kerinduan-kerinduan ini. Semoga
kau juga siap.
Langkahku
tegap bak prajurit walau tergurat siluet-siluet hitam di wajahku. Aku keluar
membawa sebongkah keyakinan dan kesiapan dalam dada. Tergantung pada jantung
yang terpompa dengan baik.
“Ifa,
terima kasih sudah datang. Mari bersulang, kurasa kau suka.” Kusodorkan jus
jambu yang kujanjikan dalam hati tadi.
Punggung
gelasku menyentuh punggung gelasmu. Serupa mataku yang segaris lurus sejajar
matamu. Mata yang sangat indah dan teduh. Sungguh aku terpesona.
“Ini
kesukaanku....”
“Oh
iya? Syukurlah....”
Seperti
lelaki umumnya, jual mahal adalah kunci menaklukkan hati wanita. Aku sudah tahu
bahwa jus jambu adalah kesukaannya, tapi aku bilang barangkali cuma kebetulan,
atau pertanda. Ah, bisa saja.
“Ifa,
tadi kau bertanya untuk siapa kerinduan itu kutuju, dan kukatakan bahwa
kerinduan itu berlabuh pada hati perempuan yang sangat spesial di hatiku.
Sebentar lagi waktunya berlayar, saat ini kita tengah berada di dermaga, Ifa.”
“Kita?
Maksudnya apa?”
“Ya
Ifa, setumpuk kerinduan yang terukir di hatiku itu atas namamu.”
Di
tengah riuh pesta sunyi mendominasi. Jarak antara aku dan Ifa menjadi sangat
jauh, bahkan terasa kami berdua berada di dua tempat yang berbeda. Rasanya aku
di sini dan Ifa sudah ada di Jerman.
Dering
telepon membelah kesunyian. Melelehkan salju yang membeku di bibirnya. Aku tak
mendengar suara apa-apa dari percakapannya di telepon. Kemudian Ifa pamit
pulang dan sampai sekarang kami tak pernah bertemu lagi, walau hanya sekadar
bertukar kabar pun tak ada.
Medan, Juli 2016
Komentar
Posting Komentar