Langsung ke konten utama

DI GEMURUH ALUNAN TOR TOR

Cerpen ini pertama kali dipublikasikan oleh Harian Analisa edisi Rabu, 10 Desember 2014

Harian Analisa

oleh Alda Muhsi
Aku begitu senang ketika hari wisuda itu datang. Perjuangan selama bertahun-tahun di tanah orang, negeri yang penuh keasingan, akhirnya berbuah indah. Saat itu pula ibu dan bapak segera menyuruhku pulang agar bisa memberi manfaat kepada negeri tercinta, tanah kelahiran. Menyalurkan ilmu yang telah kuserap di sini untuk dipraktikkan.
“Kau tau kan, Dit, gimana orang-orang di negara kita sekarang? Kematian paling besar disebabkan penyakit. Oleh karena itu bapak ingin sekali kau turut serta untuk memperbaikinya, menyembuhkan segala penyakit yang mereka idap.”
“Tapi bagaimana caranya, Pak? Tentu saja aku belum siap berbuat banyak, aku juga harus beradaptasi dengan lingkungan, mengenal jenis penyakit serta wabah dan virus yang menyerang. Tentu saja semua mesti kupelajari lagi, Pak.”
“Ya sudah cepat saja kau balik, banyak orang sakit di Indonesia ini pergi berobat ke luar negeri, bapak pingin kau jadi dokter profesional di sini dan membuka rumah sakit berkelas internasional, biar mereka tak perlu jauh-jauh pergi ke luar negeri hanya sekadar untuk check-up.”
“Ya sudah, Pak, aku akan ikuti kata-kata bapak.”
“Oh iya satu lagi, nanti kau juga tak perlu meminta bayaran pada orang-orang miskin yang berobat. Mungkin saja mereka bisa membayarnya, tapi apakah kau tahu kalau di rumah mereka tidak bisa membeli beras. Kau harus ingat itu.”
Aku pulang, pesawatku mendarat pukul 11.00 WIB di Kuala Namu International Airport. Ini kali pertama aku mendarat di sini, sebelum-sebelumnya masih di Bandara Polonia. Berarti sudah lama sekali aku tak pulang. Kalau tak salah terakhir kali lebaran tahun 2011, sudah 3 tahun.
“Hai, Dit!” sapa ibu dan bapak kompak.
Ah, akhirnya, aku tak menyangka ini memang ibu dan bapak yang nyata. Bukan seperti hari yang lalu, yang bisa kutemui hanya dalam mimpi. Aku memeluk keduanya setelah mereka merangkulku yang kaku. Gugup tergambar di wajahku, bibirku kelu, seketika air mata menetes.
“Gimana kabarnya jagoan bapak? Sudah 3 tahun kita gak ketemu. Eh, kenapa kau makin kurus saja?”
“Hehehe enggak kok, Pak,” kataku tak banyak bicara.
“Bapak ada kabar gembira untukmu, Dit, sebelum kau menempuh dunia kerja di sini bapak mau mengajakmu melihat kampung kita, melihat tempat di mana kau bermain-main saat masih kecil.”
“Apa, Pak? Maksud bapak kita ke Parapat?” tanyaku dengan girang.
Bapak hanya memainkan matanya sambil menahan tawa. Aku begitu senang bisa kembali lagi ke sana melihat keindahan tanah kelahiranku. Meskipun aku bukan orang Batak asli, tapi aku cukup bangga dengan budayanya, begitu juga dengan panorama dan keindahan alamnya.
Perjalanan yang ditempuh cukup jauh terbayar sudah dengan keindahan dan kesejukan alam Parapat. Danau Toba yang biru memanjakan mataku di sepanjang pandangan. Rasa lelah yang selama perjalanan hinggap di tubuhku kini tak lagi terasa. Ia terbang bersama awan-awan yang bertebar di angkasa. Kau mesti percaya, ini begitu indah!
I love youuuuuuu Tobaaaaaaa!!! Wuhuuuuu!!!”
Kami sampai pada sore hari yang hampir senja. Itu membuat kesempatan untuk menikmati pesona Danau Toba terbatas pada waktu. Hari ini kami akan beristirahat semalam, dan besok baru akan berangkat ke Samosir, pulau di tengah Danau Toba, yang konon mempunyai legenda.
Ibu dan bapak beristirahat di kamar. Mereka berdua hanya menikmati pemandangan Danau Toba dari jendela, sedang aku berjalan keluar untuk berhadapan langsung dan merasakan belaian angin di pinggiran danau.
Mataku terperanjat tepat ke arah mata gadis di ujung sana. Sesosok wanita yang sepertinya tak asing lagi bagiku. Tapi siapa dia? Aku berusaha mengingatnya sedalam mungkin. Mencari potongan-potongan yang pernah singgah di kepalaku, tentu saja yang menyerupai dirinya. Untuk kusatukan dalam gambar yang sempurna, agar aku bisa mengenali rupanya semakin jelas. Tapi, tak berapa lama ia menghilang dari pandanganku.
Secepat itu aku pun langsung teringat, perempuan tadi, gadis bermata sayu itu, ya, wanita itu adalah Tiurma. Perempuan yang dahulu sering menjadi bahan ejekan teman-teman sebaya, perempuan yang terbelakang dalam pergaulan, perempuan terbuang. Mungkin hanya aku yang mau menjadi temannya dahulu. Tapi kini mengapa ia cantik sekali? Aku juga yakin kalau teman-teman yang dulu mengejeknya pasti berubah sujud padanya. Alangkah cantik wajahmu, Tiurma. Apakah hatimu secantik dahulu?
“Apa kau Dito? Pradito?” kata salah seorang menepuk pundakku.
“Eh, iya... iya....” tepat sekali, ia adalah Tiurma. Ah, seperti mimpi saja.
“Masih ingat denganku, Dit?”
“Ya, sepertinya aku ingat, apakah kau Tiurma? Satu-satunya teman perempuan yang kupunya semasa kecil? Dan tentu saja aku juga satu-satunya teman lelaki yang kau punya. Tapi mengapa kini kau cantik sekali? Macam putri saja kutengok?”
“Ah, kau ini bisa aja, Dit! Kau baru datang ya?”
“Iya, Tiur, aku baru datang.” Lidahku gugup dihadapkan pada wajahnya. Asli, ia beda sekali dengan yang dahulu. Dan kini mengapa jantungku berdebar-debar seperti dermaga dihantam arus?
“Jadi sekarang kerja di mana? Atau masih kuliah?”
“Aku baru aja lulus di Universitas Sierra Nevada di Amerika jurusan kesehatan dan kedokteran. Bagaimana denganmu, Tiur?”
“Wah, hebat kau, Dit, kalau aku ya tetap di sini aja, setelah tamat kuliah ibu menyuruhku menggantikannya di hotel. Kalau bapak biasalah, mengurusi kebun mangganya, hehehe. Oh iya, sekarang lagi panen mangga, Dit, kalau kau mau kita bisa ke rumah.”
“Mungkin besok atau lusa aja, Tiur, saat ini aku masih mau di sini menikmati senja.”
“Oh gitu, jadi ceritanya kau datang ke sini untuk nostalgia ya?”
“Hehehe, ya bisa dibilang begitu, Tiur. Bapak mengajakku ke sini katanya sedang ada acara besar, acara yang setahun sekali diadakan, ya hitung-hitung pulang kampung, kan?”
“Iya memang benar, sejak 5 tahun terakhir ini Pesta Danau Toba terus digalakkan untuk memancing wisatawan lokal dan mancanegara berkunjung agar lebih mengenal budaya lokal di sini.”
“Wah, menurutku itu upaya yang bagus, Tiur.”
Tiurma tersenyum seraya menaikkan sebelah alis matanya.
 “Selama ini kau di mana, Dit? Sejak tamat SMP kau pindah ke kota aku tak pernah mendengar kabarmu lagi. Eh, tau-tau sekarang ada di depanku aja.”
“Kalau kuceritakan semuanya mungkin bakal gak habis-habis, Tiur, kan yang penting hari ini kita bisa ketemu lagi, bisa ngabisin senja berduaan lagi. Hehehe. Ketika itu nenek jatuh sakit dan tak ada yang merawatnya di sana. Kami sekeluarga pergi ke Penang membawanya berobat. Begitu seterusnya, setiap bulan harus check-up sampai akhirnya nenek meninggal saat aku kelas 3 SMA. Nah, dari kejadian itu ibu dan bapak berpikir kalau bagusnya aku kuliah di kedokteran, biar nanti bisa buka rumah sakit di sini dengan peralatan yang lengkap, agar orang yang mau check-up gak perlu jauh-jauh ke luar negeri, dan satu lagi tentunya untuk membantu orang-orang miskin yang tak punya biaya berobat.”
“Wah, hebat kau, Dit, aku sangat terkesan mendengarnya. Aku doain deh biar niatnya itu berjalan dengan lancar. Amin.”
Kami berdua saling bertukar senyum. Aku seperti kembali menemukan puing-puing mimpi yang sempat hilang. Dari matanya kutemukan cahaya yang bisa membawaku melayang. 5 tahun aku kuliah di luar negeri, 5 tahun tanpa cinta, yang ada hanyalah cita-cita. Tapi ini kurasa seperti ada yang berbeda. Apakah kau memang cintaku, Tiur? Aku tak pernah berharap dan menyangka bisa jatuh di hatimu, padahal setiap pertemuan kita aku selalu jalan berhati-hati. Sewindu tak bertemu, kupikir itu waktu yang lama untuk menyimpan rindu.
Astaga, sungguh beda sekali Tiurma yang dahulu dengan Tiurma yang kini ada di hadapanku. Senyumnya semakin tajam, tapi tak menghilangkan sebuah ciri khas. Senyumnya itu membawaku persis pada delapan tahun lalu, masa-masa SMP yang selalu kami habiskan berdua. Entah itu memanjat pohon mangga, berlari-larian di pinggir danau, entah itu bermain markaret (main karet atau lompat tali), markudaginjang (melompat di atas susunan orang), marjalekkat (enggrang), marlentom (petak-umpet) ataupun bermain margala.
“Tiur, belum berubah aja ya indahnya Danau Toba ini, oiya, anak-anaknya gimana? Permainan tradisional yang kita mainkan dahulu apakah masih dimainkan mereka di sini?”
“Nah itu dia yang menjadi permasalahan, tampaknya kecanggihan teknologi sekarang ini sudah merampas budaya-budaya dan tradisi di sini. Sebagian besar masih ada yang memainkan permainan-permainan tradisional seperti itu, namun sebagian lagi sudah asyik dengan smartphone mereka yang serba canggih, bahkan mungkin tak pernah tahu seperti apa permainan tradisional mereka. Itulah yang sangat disayangkan, Dit.”
“Wah, miris juga aku dengarnya, Tiur. Semoga aja ada tokoh di kampung ini yang mau melestarikan budaya dan tradisi, agar bertahan, tak hilang ditelan jaman.”
“Oh iya, Tiur, kau tahu, ketika melihat Danau Toba ini aku jadi ingat Danau Tahoe di pegunungan Sierra Nevada. Kalau Danau Toba adalah danau terdalam kedua di Indonesia, maka Danau Tahoe adalah danau terdalam kedua di Amerika sekaligus kesebelas di dunia. Pernah suatu hari pada libur musim panas aku berkunjung ke sana dengan teman-teman. Ketika melihat keindahannya, kurasakan hal serupa, sama seperti sekarang ini, aku mengingat Danau Toba, aku takjub, Tiur. Banyak orang-orang berekreasi menghabiskan musim panas di sana. Airnya yang biru bisa menenangkan jiwa kita yang tengah dilanda penat. Ketika itu, hanya ada satu yang kurang kurasakan dalam kehidupan. Tak ada yang menggenggam tanganku, Tiur.”
Suaraku berubah pelan seirama dengan alunan angin yang menyapu pipi serta harapan di kepala. Suasana berubah syahdu. Matanya berbinar. Sementara dadaku terus merasakan getaran-getaran tak menentu. Langit menggambarkan sunset yang menawan, matahari berjalan pelan meninggalkan bumi Danau Toba, ia sembunyi di balik bukit, mencari ketenangan di tempat lain. Terkadang suara arus memecah kesunyian.
Tiur, ketika itu seandainya kau ada di sampingku, menggenggam tanganku. Aku akan memelukmu, lalu mencium dahimu, dan menyatakan seluruh perasaan yang sudah kusimpan sejak SMP. Aku masih ingat ketika itu kuutarakan cinta, katamu umur kita belum cukup dewasa untuk bermain cinta, dan katamu juga kalau memang jodoh tak akan ke mana. Aku masih ingat dengan jelas kata-kata itu. Walau kurasa klise, tapi ada benarnya juga. Kini kita dipertemukan lagi, entah memang kebetulan atau apa.
“Oh iya, Tiur, nanti malam ada acara apa?”
“Nanti malam ada acara kebudayaan, Dit, kalau mau lihat, datanglah.”
“Ya, tentu saja, Tiur, sekalian aku pingin lihat Tari Tor-Tor asli Batak Toba. Hehehe.”
“Hari mulai gelap, Dit, kau tak balik ke penginapan?”
“Iya, Tiur, ini aku mau balik, nanti malam kita ketemu lagi ya.” Ucapku sambil mengedipkan sebelah mata. Kemudian aku berlalu.
***
Aku terpojok di antara keramaian. Mataku memerah sembab. Dadaku basah bukan dibasuh hujan. Aku begitu bodoh. Harusnya aku menanyakan lebih jauh tentangnya. Kini semuanya menjadi sia-sia. Coklat yang kubawa untuknya pun belum sempat kusulangkan mengecap bibirnya. Tanganku masih bersisa wewangian rambutnya, ketika tadi sempat kubelai beberapa detik. Sungguh, aku benar-benar tak menyangka. Aku tak menyangka kenapa aku bisa sebodoh ini.
Gemuruh semakin terasa. Angin beraroma pekat. Alunan musik tradisi yang menjadi tema malam itu terdengar begitu kental. Sudah berapa lama tak kudengarkan. Terakhir sejak sebelum kepindahan kami ke Kota Medan. Tari Tor-Tor yang begitu melenakan menemaniku dalam panjangnya lamunan. Kata-kata itu masih terngiang cukup terang di kepalaku, kata-kata yang menampar seluruh tubuhku, kata-kata yang menerjang dadaku hingga jatuh tak berdaya, kata-kata yang kembali memecah puing mimpi, kata-kata yang menghanyutkanku ke dasar Danau Toba.
“Dit, sebenarnya aku sudah menikah.”
Medan, Agustus 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat Pindah Alamat Berlangganan Indihome

sumber: google   Masa kontrakan habis, mau pindah ke kontrakan baru, tapi gimana dengan layanan indihome yang sudah terpasang? Tentu saja kita ingin memindahkan perangkat tanpa harus ada embel-embel pasang baru agar terhindar dari biaya pasang yang bernilai Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Itulah kemauan kita, tapi berbeda dengan aturan yang ditetapkan oleh pihak Telkom. Kejadian itu menimpa saya. Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke Plaza Telkom Jalan Putri Hijau Medan dengan tujuan untuk memindahkan perangkat i ndihome saya dari kontrakan lama ke kontrakan baru. Setelah naik ke lantai 2 (kantor pelayanan) saya mengantre beberapa saat, tidak pakai selembaran kertas nomor antrean, katanya mereka pakai sistem digital, pelanggan hanya dipotret, dan nanti tiba gilirannya CS akan menghampiri (sebuah inovasi pelayanan dan langkah bijak untuk menghemat pemakaian kertas). Tiba giliran saya untuk mengadu persoalan saya. Namun, jawaban sang CS tidak bisa menenteramkan hati,

[CERPEN ANAK] PR Feby

Akhirnya Redaktur Taman Riang Harian Analisa berkenan kembali mempublikasikan cerpen anak saya. Cerpen ini saya kirim bulan Oktober 2017 dan baru diterbitkan edisi Minggu, 7 Januari 2018.  Terima kasih saya haturkan, dan semoga berkenan menerbitkan cerpen-cerpen selanjutnya. Hehehe... Ayo menulis cerita anak untuk menyelamatkan anak-anak dari serangan game online dan medsos yang melumpuhkan akal. Ilustrasi: Analisa Oleh Alda Muhsi Feby merupakan murid kelas 2 sekolah dasar di SD Negeri 011. Setiap hari gurunya selalu memberikan PR dengan alasan untuk melatih daya ingat, dan membiasakan agar murid-muridnya rajin belajar. Dalam kelasnya, Feby termasuk murid yang rajin mengerjakan PR. Tak pernah sekalipun ia luput dari PR-nya. Feby telah dibiasakan orang tuanya agar sepulang sekolah harus menyelesaikan PR. Berbeda dari biasanya, hari ini sepulang sekolah Feby diajak Amanda untuk berkunjung ke rumahnya. Amanda merupakan seorang murid baru, pindahan dari Jakarta. Feby ya

Teja Purnama, Sosok Penyair Kota Medan

(Catatan ini ditulis pada tahun 2012 oleh Alda Muhsi, Ferry Anggriawan, dan Sari Uli Octarina Panggabean semasa kuliah saat bertemu di Taman Budaya Sumut) Teja Purnama Lubis, lahir di Medan pada tanggal 19 Januari 1973. Anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Asmara Kusuma Lubis dan Rosmiati. Yang kini berdomisili di jalan Karya gang Suka Damai no. 5-H Kecamatan Medan Barat. Mempunyai tiga orang anak dengan istri Awalina Nasution. Modal awal menjadi seorang penyair baginya adalah membaca. Sewaktu kecil, kakek dan ayahnya banyak meninggalkan buku sastra lama. Setiap minggunya ia juga disuguhkan majalah anak-anak seperti Majalah Bobo. Ia pun tak menyangka pada akhirnya setelah memasuki SMP, ternyata ia mencintai dunia sastra. Hal itu terlihat bahwa pada masa SMP ia telah hobi membaca puisi. Hal ini juga berlanjut pada masa SMA hingga kuliah setiap perlombaan baca puisi ia pasti mendapatkan juara 1. Setelah membaca puisi, ia juga menyalurkan bakatnya lewat tulisan ka