Cerpen ini dibuat tahun 2013 dan pertama kali dipublikasikan di Harian Analisa edisi Minggu, 2 Maret 2014. Kemudian termaktub dalam buku kumpulan cerpen Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu terbitan Ganding Pustaka tahun 2016.
Mei, aku tak tahu entah muasal apa yang mengakrabkan kita. Buka
hujan! Ya, memang bukan hujan. Bukan pula dalam kegiatan berbau adat atau pun
tari-menari. Ah, entahlah. Mungkin aku lupa. Tapi yang kutahu, saat pertama
memandang wajahmu adalah ketika orang-orang ramai berkumpul tengah merayakan
pesta puisi. Senyummu yang indah terkadang menempel pada mata dan tak lenyap
hingga berujung lelap.
Setelahnya aku jadi sering mengintipmu pada sisi-sisi hari yang
bisu. Tak ada dusta yang terdengar sumbang, dan tak ada darah yang tertampung
lebih banyak daripada darah seekor nyamuk yang tertepuk.
Mei, kau adalah warna cerah dari rupa-rupa kehidupan yang
diturunkan Tuhan untuk memberi keteduhan. Sejak 20 tahun silam hingga kini kau
hadir bersamaku. Kita mengukir senyum di setiap jalan yang terus berdentum
mengumandangkan harapan-harapan damai. Juga pada waktu yang mengalir nyanyian
kepedihan.
Sejak kau di sini tak kurasa lagi gundah yang berkepanjangan.
April kelabu yang membawaku terperosok ke dalam luka biru telah berganti wajah.
Kau berhasil mendandaniku menjadi merah muda. Walau sebenarnya aku sangat tidak
menyukai itu.
Mei, kau tahu lukisan pasir? Berbutir-butir pasir diukir menjadi
sebuah karya seni yang indah, yang tak cukup satu dua hari untuk menikmatinya.
Suatu nanti di sepanjang hari aku akan merangkai pasir-pasir itu dengan
tanganku bersamamu, Mei. Aku akan berhenti bermain kata-kata atau pun
sandiwara. Aku ingin membangun keindahan bernuansa baru denganmu.
Ketika kita sedang tak duduk bersama apa yang kau lakukan? Adakah
sama seperti lagu rindu yang selalu dinyanyikan hati kecilku dengan irama yang
syahdu? Yang menenggelamkanku pada ruang sepi yang dingin sekali. Berharap kau
segera tiba dan mendekapku.
Saat itu juga aku akan menulis sajak dalam secarik kertas, dan
menitipkannya kepada merpati putih untuk mengantarkan kepadamu. Aku juga
membalik-balik kalender untuk mengetahui alamatmu. Berapa lama lagi akan tiba
di sana.
Akan tetapi sayang, setiap pagi merpati itu mengetuk jendela
kamarku dengan bunyi nada yang sama. Aku paham sekali. Aku tahu maksudnya.
“Tak kutemukan Mei!”
Lalu aku sibuk mengambil kalkulator dan mulai menghitung berapa
hari, jam, menit, detik lagi aku dapat berjumpa denganmu.
Ya, begitulah aku menantimu, Mei!
Mei, aku tidak berpikir bahwa kita ini adalah seperti sepasang
kekasih. Sebab yang kutahu sepasang kekasih harus saling membutuhkan, sedangkan
kau tidak pernah membutuhkanku. Hanya aku yang terlalu menggilaimu. Bagaimana
lagi harus kuelakkan, jujur saja dari tahun ke tahun setiap kau menghampiriku
hidupku terasa damai. Sekarang kutanya, ‘apakah wajar seorang manusia begitu
mencintai kedamaian?’ ya, Mei, kau adalah damaiku. Kau adalah cintaku. Walau
kau hanyalah benda mati tak berwujud.
Aku tahu kalau aku belumlah cukup dewasa untuk memaknaimu. Belum
cukup mengerti untuk mengartikanmu. Tapi aku selalu menatap realita. Kau yang
selalu membawa keteduhan pada jiwaku.
Arus ombak di pantai ini semakin keras menghempas. Awan juga sudah
mulai terlihat hitam. Sabit yang terbit di langit memancarkan sinar benderang.
Angin terus mendesah tanpa henti. Aku ingin beristirahat dalam pelukanmu.
Bermanja-manja selagi kau ada di sisiku. Menambah kenangan tentang kita. Sambil
berharap akan ada kisah di masa mendatang yang lebih indah.
Mei, dalam malam kau selalu setia menjagaku. Menemani dan sesekali
mengusap kepalaku. Menyentuh manja kedua belah pipiku dengan jari-jari
lembutmu. Membasuh hati dengan hembusan nurani. Ketika itu aku berharap kepada
Tuhan agar waktu terhenti; tak berlalu.
Ya, itulah sebabnya mengapa aku begitu memujamu, mencintaimu, dan
ingin menikahimu. Aku ingin bersetubuh denganmu. Menyatu dalam jiwamu.
Menggenggam harapan-harapan kecil dan meraihnya bersamamu. Tentu saja bukan
harapan palsu yang selalu ditawarkan Januari, Pebruari, Maret, April dan
lain-lain.
Sebab aku selalu tentram. Sebab kau selalu memberi keteduhan,
kedamaian, dan ketenangan. Walau beribu-ribu pilu menikam ulu hati. Kau membuat
segalanya tak terasa, tak berbekas.
Terima kasih, Mei.
Dan semoga
saja kau tak hanya sebatas tiga puluh satu hari.
Komentar
Posting Komentar