Langsung ke konten utama

PENTINGNYA MEMELIHARA SISTEM DRAINASE

Opini saya dimuat oleh Harian Analisa edisi Jumat, 21 Juli 2017.

Sebenarnya artikel ini telah lama saya tulis tapi tak kunjung dimuat di rubrik Lingkungan Harian Analisa. Kemudian dengan adanya proyek pekerjaan drainase oleh dinas PU di sekitar rumah saya, artikel ini saya edit (tambah) dan kirim ulang ke rubrik Opini Harian Analisa. Tambahan itu bisa ditemukan pada pembuka tulisan ini yang memuat fakta terkini.



Sejak memasuki bulan Juli pemandangan di sepanjang jalan Amaliun berubah menjadi tidak seperti biasanya. Jalanan yang mulus kini berubah menjadi jalanan yang dipenuhi gundukan kotoran parit yang baunya begitu tajam. Benar, sedang ada pekerjaan galian parit. Di satu sisi hal ini begitu baik mengingat pentingnya normalisasi parit yang menjadi saluran pembuangan air utama. Akan tetapi di sisi lain hal ini cukup mengganggu masyarakat, baik masyarakat pengguna jalan apa lagi masyarakat yang berdomisili di jalan Amaliun tersebut.
Mengapa dikatakan demikian? Tentu saja aktifitas yang kita jalankan tidak dapat berjalan seperti biasanya. Akses jalan keluar masuk rumah hanya memakai sebuah titi berbahan kayu dikepung pula dengan gundukan tanah bekas parit tadi setinggi paha di sisi kanan dan kiri yang tak kunjung diangkut. Begitu mengganggu bukan?
Bagi masyarakat pengguna jalan gangguan yang dirasakan adalah semakin sempitnya ruas jalan yang dapat dilalui akibat penimbunan kotoran parit tadi. Bahkan jalan yang tertutupi nyaris 50%. Belum lagi hujan yang turun setiap sore akan menambah tingkat risiko yang timbul. Misalnya tanah-tanah kotoran berubah menjadi lumpur akibat terkena hujan, menyebabkan jalanan semakin licin. Untuk itu diperlukan kehati-hatian yang ekstra dan kewaspadaan yang tinggi ketika melewati jalan Amaliun saat sekarang ini.
Jika kita meninjau ulang mengapa normalisasi parit perlu dilakukan rasanya hanya ada satu jawaban, yaitu karena buruknya sistem drainase yang kita punya. Bagaimana perlakuan kita dalam menjaga drainase tersebut, apakah kita memeliharanya dengan baik ataukah kita membiarkan sampah-sampah tertimbun hingga menyebabkan drainase kehilangan fungsi sebenarnya?
Ironi Buruknya Sistem Drainase
Genangan air yang menjadi penampakan di beberapa ruas jalan protokol sering kita jumpai akibat sistem drainase yang kurang baik. Ketika intensitas curah hujan jauh lebih tinggi dari biasanya maka kita harus bersiap-siap menguras banjir. Untuk mengantisipasi serangan banjir yang akan menyebabkan genangan air kita perlu memperhatikan setiap parit yang menjadi lajur air. Lalu ini tanggung jawab siapa?
Menjawab pertanyaan soal tanggung jawab inilah terkadang menimbulkan perselisihan. Sebagai warga yang baik semestinya kita tidak bisa melepaskan tanggung jawab ini hanya kepada pemerintah. Ingatlah pepatah yang mengatakan berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Kita jangan melupakan bahwa tradisi gotong royong telah mengakar di negara kita.
Pemerintah dalam kapasitasnya sebagai pembentuk sistem drainase pasti sudah memikirkan matang-matang tentang keefektifan drainase yang dibangunnya. Tinggal kita sebagai warga yang harus memelihara drainase agar tetap berfungsi maksimal. Lalu mengapa ada drainase yang tumpat? Kemudian kita dengan sumbu panas seketika menyalahkan kerja pemerintah yang tidak benar.
Itulah sikap dari seorang warga negara yang tidak baik. Sudahkah kita melihat secara langsung mengapa sistem drainase itu tumpat? Apakah yang menyebabkannya tumpat? Setelah meninjau langsung barulah kita dapat jawabannya. Hanya saja persoalan drainase tumpat yang kerap muncul adalah karena banyaknya sampah yang membuat laju air terhambat. Di sanalah awal mula genangan terjadi setelah hujan turun beberapa jam.
Timbul pertanyaan lagi, siapakah yang membuang sampah ke dalam drainase kita? Mungkinkah pemerintah? Sosok yang menciptakan drainase sekaligus sosok yang merusak fungsinya? Mungkin saja benar, tapi itu kalau kita sedang berada dalam naskah film Hollywood yang penuh intrik dengan alur berputar-putar. Akan tetapi sadarlah kita, bahwa kita berada dalam dunia nyata. Tidak ada seseorang yang mau menghancurkan tatanan yang diciptakannya kecuali orang tersebut sedikit terganggu jiwanya. Sederhananya, mampukah kita merusak sesuatu yang telah kita ciptakan? Sesuatu yang sangat berharga dan diperlukan banyak orang untuk kelangsungan hidup.
Kalau bukan pemerintah yang melakukannya mengapa pula kita menuntut pemerintah untuk segera memperbaikinya? Kalau begitu apa bedanya kita dengan seorang anak yang diberikan sepeda oleh orang tuanya, dan ketika ia memakai sepeda tersebut ia terjatuh karena tidak melihat ada akar pohon melintang sehingga sepedanya menjadi rusak. Tentu saja ia segera merengek dan menuntut kepada orang tuanya agar memperbaiki sepeda itu. Ya kalau orang tuanya tidak memiliki pekerjaan lain pasti ia segera memperbaikinya. Bagaiamana kalau orang tua anak tersebut harus mengurus pekerjaan lain?
Sebuah perumpamaan tadi mungkin dapat menggambarkan siapa kita dan bagaimana sikap kita dalam menghadapi situasi ini. Sistem drainase yang tumpat akibat tumpukan sampah yang kita perbuat tidak akan mungkin hilang dengan sendirinya. Tidak akan mungkin orang lain yang memperbaikinya. Itu adalah niat, tekad, dan sikap yang ada dalam diri kita. Kalau kita tidak bisa menjaganya mau sampai beribu-ribu kali pergantian pemerintahan tentu tidak akan menyelesaikan masalah ini. Oleh karena itu jagalah sistem drainase kita. Buanglah sampah pada tempatnya.
Gotong Royong Memelihara Drainase
Turun tangan pemerintah dirasa cukup berpengaruh dalam memelihara drainase. Jalan keluarnya bisa dengan mengadakan gotong royong membersihkan drainase pada hari sabtu dan minggu. Kegiatan ini dapat dilakukan mulai dari tingkat kepala lingkungan, yang mengakomodir tiap warganya. Bisa pula di tingkat kelurahan yang mewajibkan tiap-tiap wilayah untuk mengadakan kegiatan tersebut. Bisa juga di tingkat kecamatan yang menganjurkan masing-masing daerah yang dipimpinnya melakukan kewajiban membersihkan parit dan drainase lainnya minimal sekali dalam seminggu. Dengan harapan ketika skema ini dibangun dapat dijalankan dengan baik untuk menjaga sistem drainase agar tertata dengan baik. Sehingga dapat meminimalisir genangan air pelan-pelan dan akhirnya hilang.
Ketika kita mampu mengatasi persoalan buruknya sistem drainase ini dengan menjaga dan memeliharanya tentu saja normalisasi drainase besar-besaran yang dilakukan pemerintah melalui dinas PU tidak perlu dilakukan sehingga aktifitas kita tidak terganggu seperti yang tengah dilakukan di jalan Amaliun. Dengan begitu terhentilah segala risiko yang ada, termasuk pula risiko penyakit yang bisa mewabah dari parit yang kotor.  
Janganlah kita mau terus menjadi seperti seorang anak dalam kisah tadi. Ataukah belum cukup lama kita berdiri di hadapan cermin? Untuk berkaca dengan apa yang kita perbuat. Kita boleh apatis, tapi jangan sampai keapatisan itu meruntuhkan pikiran-pikiran jernih dalam kepala kita. Sehingga akhirnya kita terlihat bodoh karena yang tertinggal di kepala adalah sifat-sifat pesimistis. Mari bertanya pada hati sendiri, persoalan mau menjaga sistem drainase atau tidak adalah pilihan kita. Ketika kita memilih untuk menjaganya semoga lambat laun banjir dan genangan air akan hilang sehingga kita dapat hidup dengan perasaan aman dan nyaman. Akan tetapi ketika kita memilih untuk tidak menjaganya maka jangan pernah berkoar atas buruknya sistem drainase yang kita punya. Karena biasanya yang paling keras teriakannya terhadap buruknya sistem drainase itu adalah orang yang membuang sampah di dalam parit.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat Pindah Alamat Berlangganan Indihome

sumber: google   Masa kontrakan habis, mau pindah ke kontrakan baru, tapi gimana dengan layanan indihome yang sudah terpasang? Tentu saja kita ingin memindahkan perangkat tanpa harus ada embel-embel pasang baru agar terhindar dari biaya pasang yang bernilai Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Itulah kemauan kita, tapi berbeda dengan aturan yang ditetapkan oleh pihak Telkom. Kejadian itu menimpa saya. Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke Plaza Telkom Jalan Putri Hijau Medan dengan tujuan untuk memindahkan perangkat i ndihome saya dari kontrakan lama ke kontrakan baru. Setelah naik ke lantai 2 (kantor pelayanan) saya mengantre beberapa saat, tidak pakai selembaran kertas nomor antrean, katanya mereka pakai sistem digital, pelanggan hanya dipotret, dan nanti tiba gilirannya CS akan menghampiri (sebuah inovasi pelayanan dan langkah bijak untuk menghemat pemakaian kertas). Tiba giliran saya untuk mengadu persoalan saya. Namun, jawaban sang CS tidak bisa menenteramkan hati,

[CERPEN ANAK] PR Feby

Akhirnya Redaktur Taman Riang Harian Analisa berkenan kembali mempublikasikan cerpen anak saya. Cerpen ini saya kirim bulan Oktober 2017 dan baru diterbitkan edisi Minggu, 7 Januari 2018.  Terima kasih saya haturkan, dan semoga berkenan menerbitkan cerpen-cerpen selanjutnya. Hehehe... Ayo menulis cerita anak untuk menyelamatkan anak-anak dari serangan game online dan medsos yang melumpuhkan akal. Ilustrasi: Analisa Oleh Alda Muhsi Feby merupakan murid kelas 2 sekolah dasar di SD Negeri 011. Setiap hari gurunya selalu memberikan PR dengan alasan untuk melatih daya ingat, dan membiasakan agar murid-muridnya rajin belajar. Dalam kelasnya, Feby termasuk murid yang rajin mengerjakan PR. Tak pernah sekalipun ia luput dari PR-nya. Feby telah dibiasakan orang tuanya agar sepulang sekolah harus menyelesaikan PR. Berbeda dari biasanya, hari ini sepulang sekolah Feby diajak Amanda untuk berkunjung ke rumahnya. Amanda merupakan seorang murid baru, pindahan dari Jakarta. Feby ya

Teja Purnama, Sosok Penyair Kota Medan

(Catatan ini ditulis pada tahun 2012 oleh Alda Muhsi, Ferry Anggriawan, dan Sari Uli Octarina Panggabean semasa kuliah saat bertemu di Taman Budaya Sumut) Teja Purnama Lubis, lahir di Medan pada tanggal 19 Januari 1973. Anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Asmara Kusuma Lubis dan Rosmiati. Yang kini berdomisili di jalan Karya gang Suka Damai no. 5-H Kecamatan Medan Barat. Mempunyai tiga orang anak dengan istri Awalina Nasution. Modal awal menjadi seorang penyair baginya adalah membaca. Sewaktu kecil, kakek dan ayahnya banyak meninggalkan buku sastra lama. Setiap minggunya ia juga disuguhkan majalah anak-anak seperti Majalah Bobo. Ia pun tak menyangka pada akhirnya setelah memasuki SMP, ternyata ia mencintai dunia sastra. Hal itu terlihat bahwa pada masa SMP ia telah hobi membaca puisi. Hal ini juga berlanjut pada masa SMA hingga kuliah setiap perlombaan baca puisi ia pasti mendapatkan juara 1. Setelah membaca puisi, ia juga menyalurkan bakatnya lewat tulisan ka