Foto oleh Annisa Tri Sari |
Melihat
judul cerpen Encep Abdullah, yang sekaligus menjadi judul buku terbarunya,
Lelaki Ompol, membawa imajinasi kita terbang ke dua arah. Setidaknya itu yang
sepintas terjadi kepada saya. Lelaki yang suka mengompol. Itulah yang pertama
kali ada dalam benak saya. Ternyata salah. Lelaki Ompol adalah wujud seorang
lelaki tua yang suka meminum ompol cucunya sebagai resep awet muda yang
didapatkannya melalui mimpi.
Seperti
kisah-kisah yang lain, Encep Abdullah sepertinya senang menawarkan hal-hal
absurd ke dalam cerita yang ia buat. Tentu saja hal-hal absurd yang dapat diterima
karena disertai uraian-uraian yang membuat kita memahaminya. Hal-hal yang
secara nyata tidak mungkin terjadi tapi pada suatu kesempatan (keadaan) itu bisa
saja terjadi.
Hal
absurd yang dituangkan menjadi semakin kuat ketika dilengkapi oleh warisan kebudayaan
(tradisi) leluhur. Di mana pada suatu masa, meyakini kekuatan mistis dari
sebuah pohon. Atau yang secara universal dikenal dengan paham animisme.
Animisme merupakan suatu paham kepercayaan kepada makhluk halus (roh) yang
tersimpan dalam setiap benda di bumi, misalnya gua, pohon, batu, dan lain
sebagainya. Karena roh yang dipuja tersimpan dalam benda-benda tersebut maka
harus pula disembah dan dihormati. Itulah sebagai bentuk kepasrahan dan
keberserahan diri penganutnya. Paham animisme pertama kali muncul di kalangan
manusia primitif. Jauh sebelum masuknya peradaban keagamaan di Indonesia.
Dalam
cerpen Lelaki Ompol, Encep menghadirkan kembali paham animisme melalui tokoh
utama, yaitu lelaki tua, yang memuja sebuah pohon beringin di samping rumahnya.
Hal ini menjadi sebuah pengingat kepada pembaca bahwa paham animisme pernah,
bahkan sampai sekarang masih terasa keberadaannya di negeri ini. Sebuah paham
yang melekat memang sulit dihilangkan, dan memang tidak ada salahnya untuk
diingat sebagai memori sejarah mengenai perkembangan peradaban. Paham animisme
juga mempercayai bahwa benda yang disembah dapat membantu mereka memelihara
semangat, menghindarkan dari gangguan roh jahat, dan juga membantu dalam
kehidupan sehari-hari. Dan dalam cerpennya Encep mempertegas dalam kutipan
berikut.
Malam
itu, Lelaki Tua sudah siap-siap keluar menuju pohon beringin dekat rumahnya.
Dengan beberapa jamuan atau sesajen yang ia bawa kemudian ditaruh di bawah
beringin pohon itu. Tidak lupa pula sebotol ompol bayi itu ia siram ke pohon –
sisa dari satu galon.
“Mbah,
malam ini purnama sudah bulat sempurna. Seperti yang Mbah katakana dalam mimpi.
di setiap bulan purnama, hamba boleh minta apa pun dengan segala persyaratan
atau beberapa jamuan ini. Mbah, sebelumnya saya meminta supaya saya kuat
bercinta dan kaya raya. Sekarang saya ingin meminta satu istri lagi. Boleh,
kan? Istri yang tua sudah kurang menggairahkan lagi. Tolong, yah, Mbah….”
Cerpen
yang ditulis pada tahun 2011 hingga 2013 itu rasanya mencakup segala hal yang
dibutuhkan pembaca. Menjelaskan bagaimana asal mula Lelaki Tua meminum ompol
cucunya. Hal itu berkaitan pula dengan landasan, tujuan dan sumber
kepercayaannya. Tokoh yang digambarkan berumur 90 tahun patut diapresiasi
perilakunya sebagai penjaga tradisi. Di jaman yang serba modern ini ia masih
mempertahankan warisan-warisan tradisi yang ia yakini sebagai penolong
hidupnya.
Foto oleh Annisa Tri Sari |
Kepercayaan
akan selalu menjadi kepercayaan. Apa lagi jika kepercayaan itu telah terbukti.
Permintaan-permintaan Lelaki Tua kepada Mbah yang menetap di pohon beringin itu
tampaknya selalu dikabulkan. Mungkin itulah yang membuat kepercayaannya
terhadap roh yang ada di pohon beringin semakin tidak dapat terbantah dan
tergoyahkan. Permintaannya perihal istri kedua nyatanya memang dikabulkan. Itu
terlihat dari kutipan di bawah ini.
“Pikiran yang
kolot! Itu hanya alasan kalian saja!” Lelaki Tua marah besar. “Lihat kakek
kalian ini, punya istri dua, tapi masih tetap bugar begini, bahkan bakal punya
anak lagi,” lanjutnya sambil mengelus perut istri keduanya yang baru hamil
muda.
Pada
akhir cerita Encep seolah-olah menegaskan bahwa tradisi animisme merupakan
sebuah kesalahan jika masih dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari sekarang
ini. Hal itu terlihat dari realita yang terjadi. Hukum sebab akibat yang
diperlihatkannya menandakan bahwa segala sesuatu yang buruk akan berakibat
buruk juga.
Atau
justru Encep menegaskan bahwa ketika paham animisme tidak dijalankan dengan
baik atau tidak diwariskan kepada anak cucu maka ada sebuah kutukan yang harus
diterima penganutnya. Itu terlihat setelah para cucu Lelaki Tua, yang berjumlah
25 orang, memutuskan untuk pergi dari rumah dan tidak akan menikah agar tidak
memiliki bayi yang ompolnya nanti diminum oleh kakek mereka (lelaki tua). Dengan
kata lain mereka menentang perilaku kakeknya itu karena dianggap menyimpang. Akhirnya
kutukan itu datang ketika istri kedua Lelaki Tua – yang berhasil didapatkannya
setelah melakukan ritual pada malam bulan purnama bulat sempurna – melahirkan seorang
bayi yang berkelamin banyak, di wajah dan di sekujur tubuh.
Akhirnya
dengan sendirinya bayi itu lahir dari liang peranakan ibunya, saat kilat petir
menyambar pohon beringin yang ada di samping rumahnya.
Bayi
itu berawakan aneh. Ia perempuan. Alat kelaminnya banyak. Di wajahnya ada. Di
tangannya ada. Di kakinya ada. Sekujur tubuhnya dipenuhi alat kelamin,
sedangkan ibunya hanya terbaring lemas tak berdaya. Darah di selangkangannya
meluber ke mana-mana. Lelaki Tua semakin panik dengan segala keadaan di
sekitarnya. Ia tak bisa berbuar apa-apa. Anaknya ia lempar ke sofa. Anak itu
kencing di mana-mana. Tiada henti. Rumahnya banjir kencing anaknya. Ia tertawa.
Senang bukan main. Tapi, ia tidak tahu kalau pohon beringin di luar rumahnya
sudah roboh.
Entah bagaimana maksud Encep, hanya
Encep seorang yang mengetahuinya. Sebuah penutup cerita yang berhasil membuat
pembaca bertanya-tanya. Sebuah penutup cerita yang berkesan sebab sulit
diterka. Namun begitu, cerpen Lelaki Ompol ini mampu mengajak kita kembali pada
masa itu, masa di mana paham animisme masih berkembang di tanah negeri. Dan
Encep memaksa kita untuk menggali lagi pemahaman mengenai paham animisme itu
sendiri.
Medan, 2017 Foto oleh Annisa Tri Sari |
Komentar
Posting Komentar