Cerpen ini pada awalnya saya beri judul Kepulangan yang Sia-sia, kemudian saya kirimkan ke Redaksi Taman Remaja Pelajar Harian Analisa pada 20 Maret 2017.
Kabar baiknya pada Minggu, 3 September 2017 cerpen ini dipublikasikan dengan judul Kepulangan.
Masa antre untuk rubrik Taman Remaja Pelajar ini memang sedikit panjang. Maka selain kepiawaian dalam mengolah kata-kata diperlukan juga kesabaran menantinya.
Semoga dapat menghibur teman-teman yang sedang dilanda kekangenan.
Ilustrasi oleh Toni Burhan |
Aku
sedih, tapi kesedihan ini tidak berlandas. Biar harap untuk temu telah kandas.
Tapi doaku untukmu tak pernah tandas. Selamat pergi untuk kesekian kali. Tak
perlu cemas. Aku di sini baik-baik saja, hanya sedikit menambah masa penantian.
Jangan waswas, cintaku untukmu tak berbatas. Walau kita kerap diapit jarak yang
jadi pembatas.
Dering
telepon menjerit nyaring. Membelah sunyi di ruang gelap kamarku. Buru-buru
kuraih telepon itu, dan tidak disangka tertera nama seseorang yang lama
kunanti.
"Halo,
Ifa, kaukah itu?"
"Aku
sedang di bandara akan pulang ke Medan."
Aku
tersentak dari tidurku. Bunga-bunga kantuk seketika berguguran dari mataku.
Ruangan kamar menjadi terang padahal tiada cahaya lampu. Cahaya itu berasal
dari mataku.
"Benarkah?"
Tanyaku ragu-ragu.
"Ya,
ada beberapa hal yang mesti kuhadiri."
Aku
bertanya-tanya dalam hati, adakah pertemuan denganku menjadi agenda
kepulangannya? Adakah aku menjadi beberapa hal yang ia maksud.
"Ya
baguslah."
"Setelah
selesai mungkin kita dapat bertemu."
Astaga.
Inilah yang kutunggu.
"Ya,
baiklah. Aku senang menantimu."
"Pesawat
sudah take off, aku akan memberi
kabar lagi nanti."
"Ya
Ifa, semoga perjalananmu menyenangkan."
Aku
tidak mampu melanjutkan tidur. Mataku tak hendak diajak mengatup. Seperti nyala
bulan di luar kamar, ia benderang. Cahayanya menembus beribu-ribu detik waktu.
Kadang ke depan dan kadang pula ke belakang.
Aku
ingat sekali kepergiannya kala itu. Kepergian tanpa kata-kata yang jelas. Dan
kini ia mengabarkan akan kembali. Adakah ini mimpi? Jika iya semoga Tuhan tak
membangunkanku sampai pada episode kami bertemu. Tapi ini bukan mimpi. Ini
nyata adanya. Mungkin sampai ada kabar selanjutnya barulah mataku akan merasa
kantuk lagi.
***
Mungkinkah
kau biarkan aku membaca runtutan kenangan yang berderet di kepalaku satu-satu.
Tentang bagaimana kita bertemu dan berjanji, sampai bagaimana cara kau
meninggalkanku diam-diam. Kalau kau ingin dengar aku akan membacakannya. Adakah
waktumu untuk mendengar? Aku adalah penyimpan kenang yang handal. Kupastikan
tidak ada yang terlewati. Sebab mengenangmu adalah kebahagiaan. Apa lagi
memilikimu, itulah doa-doaku.
Di
akun media sosialmu, yang belakangan ini jadi sering kuperhatikan lagi, memang
aku melihat foto-foto dan status-status kegiatan yang kau lakukan di sini.
Itulah hari pertama selepas kau tiba. Kemudian bergeser ke atas, aku pikir kau
dan keluargamu tengah menikmati hari liburmu, kalian pergi ke kampung halaman
dan foto-foto keindahan terpampang jelas di sana. Kalau tak salah lihat wajahmu
membiaskan rasa bahagia, seiring daun-daun yang sebabkan semilir angin jatuh
menggugurkan kerinduan. Seandainya kau tahu, daun-daun di pohonku sangat rimbun.
Hari
ketiga kau di sini belum juga kudapati tanda-tanda rencana berjumpa denganku.
Hatiku selalu ingin berterus terang padamu. Menanyakan tentang janji yang kau
utarakan pada malam tiga hari yang lalu. Tapi nurani terus menahannya, rasa
jual mahal itu kembali hampiri kepalaku, atau perasaan berserah, pasrah, jika
memang jalannya pasti bertemu. Tidak ada yang salah atas ketentuan Tuhan, aku
sangat percaya.
Aku
ingin bertanya kepadamu nanti, jika memang kita bertemu, perasaan apa yang
harus kujaga dan pelihara dalam hati saat melihat foto-fotomu ini? Bahagiakah,
atau justru kecemburuan? Tapi mengapa harus cemburu? Bukankah kita bukanlah
apa-apa. Lantas, mestinya aku berbahagia? Ya, berbahagia adalah jawabannya.
Sebab kebahagiaan untuk orang yang kita cinta adalah bukti cinta yang
sebenarnya. Buat apa aku bertanya jika jawaban-jawaban itu mampu kucari
sendiri. Kurasa ada benarnya kata-kata bijak yang mengatakan jangan bertanya
tentang apa yang sudah kau ketahui jawabannya, karena itu hanya akan
membuang-buang waktu, membuang-buang suara, membuang-buang tenaga, dan tentunya
membuang-buang kata-kata.
Hari
keempat aku mendapat pesan darinya, sebuah ucapan maaf karena sampai detik ini
ia masih belum mampu menyediakan waktunya untukku.
“Maafkan
aku, meja makan masih penuh, belum ada tempat untuk menghidangkan waktu buatmu.”
Ah,
kata-kata macam apa itu. Beruntung aku telah terlatih dalam menghadapimu. Aku
telah terbiasa menanti, walau penantian itu panjang dan belum tentu berujung.
“Sampai
kapan kau di sini?”
“Dua
atau tiga hari lagi.”
“Ingatlah
aku menunggumu, 36 jam ke depan jari-jariku akan selalu kosong.”
Tidak
ada balasan lagi. Mungkin ia lelah, karena percakapan lewat pesan itu terjadi
pada waktu lewat tengah malam.
***
Sejak
ketiadaanmu, sebelum kita bertemu dan bahkan setelah kau pergi, aku mulai berkarib
dengan sunyi. Dalam lekuk waktu yang bisu aku selalu didekap sunyi yang membuat
pikiranku melayang mencari jejak atau fosil yang dapat menjadi sebuah kisah
atau sejarah. Terkadang ada rasa jenuh yang berkunjung, ketika
pertanyaan-pertanyaan itu telah membuat kepalaku kelelahan berputar. Aku ingin
mencari tempat bersandar. Namun adakah?
Kejenuhan
hari ini kusingkirkan sebab kudengar di luar hujan turun. Aku mencoba
melepaskan kesunyian ini dengan jalan bermain-main bersama hujan. Melihat anak-anak
menari membebaskan penat yang mengurung kesehariannya. Masa kecil memang indah
apa lagi jika dihabiskan di bawah hujan bersama teman-teman, sambil bermain
bola kaki dan membayangkan kelak kita akan menjadi pemain hebat. Namun garis
takdir tidak akan berjalan indah seperti yang kita bayangkan dan kehendaki.
Kini aku percaya itu.
Kau
tahu, hujan ini jatuh begitu lembut. Bahkan aku tak terasa pipi ini telah
basah. Entahlah, mungkin deru dadaku selalu bertanya tentang kenyataan. Aku
masih berharap ini adalah kesalahan. Kesalahan tentang penantian. Semoga aku
segera tersadar. Mengapakah aku masih menunggumu?
***
Telepon
malam itu berdering kencang sekali. Seperti degup penantianku terhadap
pertemuan kita. Membelah sunyi di ruang gelap kamarku. Buru-buru kuraih telepon
itu, dan benar adanya tertera nama Ifa di sana.
"Ya
Ifa, kenapa selalu larut malam?"
"Besok
aku kembali ke Jerman. Jam enam pagi aku harus sudah tiba di bandara."
"Itu
artinya kita tidak jadi bertemu?"
"Maafkan
aku."
Telepon
diputus.
Aku
tak menyangka, katamu kemarin masih berada di sini dua sampai tiga hari lagi.
Tapi ini bahkan belum genap dua hari. Serupa malam itu, malam ini kembali mataku
tidak merasakan kantuk. Hanya dadaku semakin terasa nyeri dan sulit sekali
bernapas. Entah keberapa kalinya hatiku patah sebabmu, Ifa. Adakah ini pertanda
bahwa kau hanyalah sebuah kesia-siaan yang kutunggu?
Jam
dinding terus berputar. Di kepalaku langkahnya terbalik. Aku dibawa mengitari
waktu berloncat-loncatan. Terakhir, aku mengingat kepergian kemarin di tengah
riuh pesta yang menenggelamkanku ke dalam liang kesunyian. Mataku nyala terang,
di ujungnya kulihat kesunyian kembali memanggil-manggil hendak mendekapku.
Medan, Maret 2017
Komentar
Posting Komentar