Langsung ke konten utama

Menyoal Antologi Puisi Berbahasa Inggris

Artikel ini berawal dari kegelisahan saya pribadi atas minimnya perhatian kita terhadap dunia perpuisian terutama terhadap buku-buku antologi puisi yang sedikit peminat/pembeli. Di samping itu mulai bermunculan pula antologi-antologi puisi berbahasa Inggris. Seketika saya langsung berpikir apakah antologi tersebut telah ada pasarnya? Atau hanya sekadar nekat karena ingin menunjukkan eksistensi penyairnya. Semoga saya mendapat pencerahan.

Pertama kali dipublikasikan oleh Harian Medan Bisnis (Art & Culture) edisi Minggu, 17 Desember 2017.
Pic: Epaper Medan Bisnis


Tujuan utama seorang sastrawan menciptakan karya sastra, baik itu dalam bentuk prosa maupun puisi adalah agar karya sastra tersebut dapat dibaca, dinikmati, dipedomani, dan kalau bisa dipetik untuk dijadikan sebagai pembelajaran oleh para pembaca. Karena pada hakikatnya karya sastra tentu saja berisi pesan moral yang tinggi terhadap berbagai isu yang dituangkan sang pengarang di dalam tulisannya. Baik itu tertuang secara tersurat maupun tersirat.
Dunia sastra tampaknya tengah menghadapi masa sulit. Kita tengah menghadapi problem yang bisa dibilang cukup rumit, yaitu kehilangan pembaca. Coba sejenak dibayangkan ketika dunia sastra kehilangan pembaca, maka apa yang akan terjadi. Pertanyaannya, kenapa pembaca itu menghilang? Karena kita selalu menuliskan segala bentuk yang membawa kerumitan. Bukankah sastra ada untuk menemani keruwetan hidup ini agar terasa ringan dan nyaman? Bukankah sastra lahir dari kesunyian yang akan membawa kita pada sebuah keadaan rileks ketika menikmatinya? Lalu kenapa kita terlalu membawa ego bahwa penulis bekerja untuk menulis apa saja untuk memenuhi hasrat dalam dirinya tanpa sedikit pun memikirkan perasaan pembaca? Adalah salah ketika penulis meyakini bahwa ketika sudah sampai di tangan pembaca maka tulisan itu menjadi hak pembaca untuk mengartikannya tanpa memperhatikan nilai-nilai estetis, diksi, pesan moral, dan cara penyampaian yang baik.
Untuk mengembalikan para pembaca sastra itu kehadiran media massa dalam bentuk cetak maupun berbasis daring yang menyediakan ruang untuk menampilkan karya sastra patut diapresiasi. Hal itu dapat diartikan sebagai salah satu bentuk kepedulian media terhadap keberlangsungan dan kelestarian karya sastra itu sendiri. Menghimpun kembali para pembaca dari semua kalangan yang telah terserak.
Selain itu, mulai berkembangnya penerbit berkonsep self publishing juga turut mengambil bagian terhadap perkembangan karya sastra. Di mana para pengarang yang telah memiliki naskah siap cetak bisa mencetaknya menggunakan jasa penerbit self publishing tadi dengan memakai biaya sendiri. Harapannya adalah dengan terbitnya buku-buku baru maka akan memungkinkan untuk memanggil para pembaca baru. Naskah-naskah yang siap dibukukan di penerbit self publishing ini biasanya naskah para penulis yang enggan terikat dengan penerbit mayor, atau bisa juga naskah yang tidak sedang dicari oleh penerbit mayor, contohnya antologi puisi. Memang antologi puisi, buku kumpulan puisi oleh seorang penyair atau kumpulan beberapa penyair kerap menjadi langgangan terbit.
Tidakkah kita sadar bahwa jumlah penyair yang tersebar di berbagai daerah negeri ini jauh lebih banyak daripada jumlah pengarang prosa. Akan tetapi jumlah penikmat puisi justru lebih sedikit dibanding dengan jumlah penikmat prosa. Itu bisa dibuktikan dari buku-buku yang beredar di pasaran. Buku-buku yang tersusun di toko buku, yang masuk dalam kategori best seller adalah buku-buku prosa (novel, kumpulan cerita) khusus di bidang sastra. Bagaimana dengan buku antologi puisi? Mungkin pernah ada, namun hanya sesekali. Kemudian dari banyaknya naskah yang dicari oleh penerbit mayor. Kebanyakan penerbit mayor membuka peluang bagi para penulis untuk mengirimkan naskah novel atau kumpulan cerita, tapi tidak begitu untuk naskah puisi. Jika kita cermati hal ini semacam mengindikasikan bahwa roda keuntungan bisnis akan lebih cepat berputar jika naskah yang dijual berbentuk prosa.  Mungkin dua ilustrasi ini menguatkan asumsi bahwa memang pembaca buku-buku puisi lebih sedikit jika dibandingkan dengan pembaca buku-buku prosa.
Pernahkan kita mencari sebuah jawaban atas pertanyaan mengapa hal itu bisa terjadi?
Secara hemat dan sederhana para pembaca memang akan lebih menikmati tiap-tiap kalimat yang mengalun indah sambung-menyambung dalam sebuah prosa. Dibandingkan dengan membaca puisi yang menafsirkannya harus mengerutkan dahi. Kata-kata metafora, kata-kata kiasan yang tersusun semakin membuat buntu dan tanda tanya besar di kepala pembaca tentang makna dari puisi yang dibacanya. Bukannya menikmati, bisa-bisa malah membuat pusing sendiri. Hal inilah yang lama-kelamaan membuat pembaca buku puisi itu habis dan hanya akan menyisakan pembaca yang itu-itu saja. Pembaca dari kalangan sendiri.
Belakangan ini sedang marak pula buku kumpulan puisi yang dialihbahasakan menjadi bahasa Inggris. Pertanyaan demi pertanyaan tumbuh subur di kepala, sebenarnya apa tujuannya? Bukankah banyak karya-karya penyair asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar kita semakin mudah untuk membaca, menelaah, dan memahaminya? Lalu kenapa kita berlomba-lomba untuk menerbitkan buku kumpulan puisi berbahasa Inggris? Sebenarnya pasar mana yang akan kita tuju? Apakah ada maksud untuk pertukaran karya? 
Rasanya hanya dapat bertanya dan menduga-duga untuk apa sebenarnya kita menerbitkan antologi puisi berbahasa Inggris sementara antologi puisi berbahasa Indonesia saja masih sepi peminatnya. Minim pembeli dan pembacanya. Semestinya kita mengingat bahwa tujuan utama sebagai seorang sastrawan, dalam hal ini penyair adalah menciptakan karya-karya (puisi) yang dapat dinikmati dan yang dapat diambil pembelajaran setelah orang-orang membacanya. Jika saja antologi puisi berbahasa Indonesia sangat sulit untuk dimaknai oleh para pembaca, bagaimana pula dengan antologi puisi versi bahasa Inggris? Apakah hanya untuk sekadar membanggakan diri? Apakah nantinya untuk dijadikan sebagai objek penelitian oleh para mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Inggris di berbagai universitas di negeri ini? Atau jangan-jangan antologi puisi berbahasa Inggris itu memiliki target penjualan khusus ke luar negeri. Hmm… kalau begitu tidak menjadi masalah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat Pindah Alamat Berlangganan Indihome

sumber: google   Masa kontrakan habis, mau pindah ke kontrakan baru, tapi gimana dengan layanan indihome yang sudah terpasang? Tentu saja kita ingin memindahkan perangkat tanpa harus ada embel-embel pasang baru agar terhindar dari biaya pasang yang bernilai Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Itulah kemauan kita, tapi berbeda dengan aturan yang ditetapkan oleh pihak Telkom. Kejadian itu menimpa saya. Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke Plaza Telkom Jalan Putri Hijau Medan dengan tujuan untuk memindahkan perangkat i ndihome saya dari kontrakan lama ke kontrakan baru. Setelah naik ke lantai 2 (kantor pelayanan) saya mengantre beberapa saat, tidak pakai selembaran kertas nomor antrean, katanya mereka pakai sistem digital, pelanggan hanya dipotret, dan nanti tiba gilirannya CS akan menghampiri (sebuah inovasi pelayanan dan langkah bijak untuk menghemat pemakaian kertas). Tiba giliran saya untuk mengadu persoalan saya. Namun, jawaban sang CS tidak bisa menenteramkan hati,

[CERPEN ANAK] PR Feby

Akhirnya Redaktur Taman Riang Harian Analisa berkenan kembali mempublikasikan cerpen anak saya. Cerpen ini saya kirim bulan Oktober 2017 dan baru diterbitkan edisi Minggu, 7 Januari 2018.  Terima kasih saya haturkan, dan semoga berkenan menerbitkan cerpen-cerpen selanjutnya. Hehehe... Ayo menulis cerita anak untuk menyelamatkan anak-anak dari serangan game online dan medsos yang melumpuhkan akal. Ilustrasi: Analisa Oleh Alda Muhsi Feby merupakan murid kelas 2 sekolah dasar di SD Negeri 011. Setiap hari gurunya selalu memberikan PR dengan alasan untuk melatih daya ingat, dan membiasakan agar murid-muridnya rajin belajar. Dalam kelasnya, Feby termasuk murid yang rajin mengerjakan PR. Tak pernah sekalipun ia luput dari PR-nya. Feby telah dibiasakan orang tuanya agar sepulang sekolah harus menyelesaikan PR. Berbeda dari biasanya, hari ini sepulang sekolah Feby diajak Amanda untuk berkunjung ke rumahnya. Amanda merupakan seorang murid baru, pindahan dari Jakarta. Feby ya

Teja Purnama, Sosok Penyair Kota Medan

(Catatan ini ditulis pada tahun 2012 oleh Alda Muhsi, Ferry Anggriawan, dan Sari Uli Octarina Panggabean semasa kuliah saat bertemu di Taman Budaya Sumut) Teja Purnama Lubis, lahir di Medan pada tanggal 19 Januari 1973. Anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Asmara Kusuma Lubis dan Rosmiati. Yang kini berdomisili di jalan Karya gang Suka Damai no. 5-H Kecamatan Medan Barat. Mempunyai tiga orang anak dengan istri Awalina Nasution. Modal awal menjadi seorang penyair baginya adalah membaca. Sewaktu kecil, kakek dan ayahnya banyak meninggalkan buku sastra lama. Setiap minggunya ia juga disuguhkan majalah anak-anak seperti Majalah Bobo. Ia pun tak menyangka pada akhirnya setelah memasuki SMP, ternyata ia mencintai dunia sastra. Hal itu terlihat bahwa pada masa SMP ia telah hobi membaca puisi. Hal ini juga berlanjut pada masa SMA hingga kuliah setiap perlombaan baca puisi ia pasti mendapatkan juara 1. Setelah membaca puisi, ia juga menyalurkan bakatnya lewat tulisan ka