Langsung ke konten utama

[CERPEN] Mencintai Tanpa Pertemuan

Cerpen ini pertama kali dipublikasikan oleh Harian Analisa, Minggu, 23 Desember 2018

Gambar: Epaper Analisa
Oleh Alda Muhsi


Segala yang ada dalam harapan adalah keniscayaan. Saat kita mengerahkan seluruh energi untuk mencapainya memang akan ada yang menghalang, seperti bebatuan yang menyakitkan tapak kaki, hingga dinding tinggi yang membuntukan jalan. Ketika mendapatinya apalagi yang bisa dilakukan? Bukankah perjalanan tetap harus dilanjutkan? Harapan itu sebentar lagi menjadi nyata. Kau memilih berhenti atau mencari jalan lain?
Pagi-pagi sekali ponselku berdering. Ada yang mengirim pesan. Isinya kerinduan.
“Tapi bagaimana mungkin kau rindu, sementara kita belum pernah bertemu.”
“Pernahkah kau saksikan pertemuan laut dan langit? Lalu tiba-tiba saja ada hujan.”
“Ah, kau ini pandai sekali berkilah.”
“Entah apa yang kau buat, aku benar-benar rindu.”
“Coba periksa hatimu, jangan-jangan rindumu salah alamat.”
“Tidak, rinduku benar tertuju padamu.”
“Atau barangkali ini yang disebut anomali rindu?”
“Anomali rindu?”
Aku tak membalas lagi. Segera kutelepon dirinya untuk mengisahkan hal ini.
Sebuah rumah yang maha luas memiliki berpuluh-puluh kamar. Setiap kamar diisi oleh satu atau paling banyak tiga orang. Rumah itu milik seorang raja yang menampung seluruh keluarganya. Raja memiliki delapan orang putra-putri, yang masing-masing telah memiliki putra-putri pula. Sebagian putra-putri dari putra-putrinya sudah pula memiliki putra-putri. Jadi di rumah itu tinggallah empat generasi.
Dari sekian banyak cucu dan cicitnya, jarang sekali mereka berkumpul bersama-sama. Hidup mereka diisi kesibukan masing-masing. Jam makan yang bergantian pun menjadi alasan mereka sulit bertatap muka. Bahkan Raja pun tidak hapal betul nama-nama cucu dan cicitnya. Kadang ia salah panggil, ketika ditegur, dalihnya beragam. Maklum sudah sepuh, biasa raja yang mengurus banyak rakyat, atau orang pintar memang sulit menghapal nama.
Zaman yang serba canggih ini semakin membuat mereka berjarak. Seperti terpisah ribuan mil lautan. Di sebuah papan ruang keluarga dipajang nomor ponsel masing-masing anggota keluarga. Niatnya untuk memudahkan komunikasi satu sama lain. Awalnya keadaan berjalan seperti yang diharapkan. Akan tetapi lama-kelamaan keadaan berubah. Rumah maha luas itu kini sepi dari suara-suara. Walau banyak penghuni, tapi seperti tidak ada siapa-siapa. Raja mulai kesulitan memecahkan persoalan ini.
Persoalan semakin merebak ketika sesama anggota keluarga hanya saling sapa lewat ponsel. Lewat aplikasi chatting yang canggih. Mereka tidak saling hapal wajah masing-masing. Tidak ada pertemuan baik di ruang keluarga maupun di meja makan. Sampai akhirnya puncak persoalan yang paling dahsyat adalah ketika di antara cicit raja memiliki perasaan saling mencintai.
“Bagaimana bisa?” potong perempuan itu.
“Cinta lahir dari kedekatan hati, bukan kedekatan tubuh. Cinta dapat menyapa walau dua orang tidak saling pandang.”
“Apakah mereka tahu bahwa mereka bersaudara?”
“Tentu saja, dan kau tahu semakin lama perasaan cinta yang ada semakin tumbuh. Sejalan dengan itu pula mereka tak ingin untuk bertemu.”
“Kenapa?”
“Kau pernah dengar sihir sebuah pandangan? Sihir sebuah ucapan? Tentu akan sangat mendebarkan ketika keduanya bertatap muka dan bertukar suara.”
Perempuan di ujung telepon tidak mengeluarkan suara. Ia terdiam beberapa detik.
“Hei, kau masih di sana?”
“Ya, tentu saja.”
“Lalu kenapa diam? Apa aku salah bicara? Apa ada yang tidak kau suka dari ucapanku?”
Aku terus berkata-kata tanpa dibalasnya. Telepon tidak diputus. Kurasa suaraku terngiang-ngiang di telinganya. Mungkin ia berpikir bahwa aku sedang menerka isi hatinya, yang enggan bertemu sebab takut mencinta.
“Bulan depan aku menikah,” suaranya bergetar. 
Obelia, Juni 2018


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat Pindah Alamat Berlangganan Indihome

sumber: google   Masa kontrakan habis, mau pindah ke kontrakan baru, tapi gimana dengan layanan indihome yang sudah terpasang? Tentu saja kita ingin memindahkan perangkat tanpa harus ada embel-embel pasang baru agar terhindar dari biaya pasang yang bernilai Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Itulah kemauan kita, tapi berbeda dengan aturan yang ditetapkan oleh pihak Telkom. Kejadian itu menimpa saya. Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke Plaza Telkom Jalan Putri Hijau Medan dengan tujuan untuk memindahkan perangkat i ndihome saya dari kontrakan lama ke kontrakan baru. Setelah naik ke lantai 2 (kantor pelayanan) saya mengantre beberapa saat, tidak pakai selembaran kertas nomor antrean, katanya mereka pakai sistem digital, pelanggan hanya dipotret, dan nanti tiba gilirannya CS akan menghampiri (sebuah inovasi pelayanan dan langkah bijak untuk menghemat pemakaian kertas). Tiba giliran saya untuk mengadu persoalan saya. Namun, jawaban sang CS tidak bisa menenteramkan hati,

[CERPEN ANAK] PR Feby

Akhirnya Redaktur Taman Riang Harian Analisa berkenan kembali mempublikasikan cerpen anak saya. Cerpen ini saya kirim bulan Oktober 2017 dan baru diterbitkan edisi Minggu, 7 Januari 2018.  Terima kasih saya haturkan, dan semoga berkenan menerbitkan cerpen-cerpen selanjutnya. Hehehe... Ayo menulis cerita anak untuk menyelamatkan anak-anak dari serangan game online dan medsos yang melumpuhkan akal. Ilustrasi: Analisa Oleh Alda Muhsi Feby merupakan murid kelas 2 sekolah dasar di SD Negeri 011. Setiap hari gurunya selalu memberikan PR dengan alasan untuk melatih daya ingat, dan membiasakan agar murid-muridnya rajin belajar. Dalam kelasnya, Feby termasuk murid yang rajin mengerjakan PR. Tak pernah sekalipun ia luput dari PR-nya. Feby telah dibiasakan orang tuanya agar sepulang sekolah harus menyelesaikan PR. Berbeda dari biasanya, hari ini sepulang sekolah Feby diajak Amanda untuk berkunjung ke rumahnya. Amanda merupakan seorang murid baru, pindahan dari Jakarta. Feby ya

Teja Purnama, Sosok Penyair Kota Medan

(Catatan ini ditulis pada tahun 2012 oleh Alda Muhsi, Ferry Anggriawan, dan Sari Uli Octarina Panggabean semasa kuliah saat bertemu di Taman Budaya Sumut) Teja Purnama Lubis, lahir di Medan pada tanggal 19 Januari 1973. Anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Asmara Kusuma Lubis dan Rosmiati. Yang kini berdomisili di jalan Karya gang Suka Damai no. 5-H Kecamatan Medan Barat. Mempunyai tiga orang anak dengan istri Awalina Nasution. Modal awal menjadi seorang penyair baginya adalah membaca. Sewaktu kecil, kakek dan ayahnya banyak meninggalkan buku sastra lama. Setiap minggunya ia juga disuguhkan majalah anak-anak seperti Majalah Bobo. Ia pun tak menyangka pada akhirnya setelah memasuki SMP, ternyata ia mencintai dunia sastra. Hal itu terlihat bahwa pada masa SMP ia telah hobi membaca puisi. Hal ini juga berlanjut pada masa SMA hingga kuliah setiap perlombaan baca puisi ia pasti mendapatkan juara 1. Setelah membaca puisi, ia juga menyalurkan bakatnya lewat tulisan ka