Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Harian Analisa, Senin, 29 Oktober 2018.
Oleh Alda Muhsi
Oleh Alda Muhsi
Pemilu
yang akan berlangsung April 2019 sudah mulai memasuki babak penuh ketegangan.
Bukan hanya sejak ditetapkannya nomor urut pasangan capres dan cawapres. Bahkan
jauh sebelum itu peperangan sudah gencar-gencarnya dilakukan tim sukses kedua
belah pihak. Isu-isu klasik kembali dipanaskan dan digoreng agar tetap renyah.
Kemudian disajikan kepada khalayak, kepada masyarakat yang kelaparan akan
informasi masing-masing paslon.
Kekuatan
terbesar paslon sebenarnya bukan berada pada sosok/figur itu sendiri. Justru
sosok hanyalah semacam pajangan atau barang dagangan. Seberapa jitu teknik
pemasaran akan semakin laris barang dagangan. Dan kekuatan untuk
mengaplikasikan pemasaran yang jitu adalah media. Benar adanya, kekuatan
terbesar dalam menjaring suara terbanyak adalah media massa. Maka tidak jarang
banyak media yang condong kepada salah satu pasangan calon. Bukan tanpa alasan,
tentu saja ada perjanjian-perjanjian yang telah disepakati bersama, yang luput
dari pengetahuan khalayak.
Maraknya
peperangan media membuat masyarakat semakin bingung dalam menentukan pilihan.
Tidak jarang pula informasi-informasi yang disebar adalah berita yang tidak
benar (hoaks), berita yang tidak berimbang, berita yang menyudutkan, dan berita
yang saling mencemarkan nama baik. Hal ini diyakini karena media-media yang ada
saat ini adalah media yang telah ditunggangi partai politik tertentu.
Sejatinya
di negara yang menganut sistem demokrasi, media atau pemilik media dilarang
keras untuk berkecimpung ke dalam partai politik. Karena tugas media adalah
untuk menyampaikan kebenaran dan keakuratan informasi kepada khalayak. Tidak
perlu rasanya kita menjabarkan ulang kewajiban-kewajiban media terhadap
masyarakat. Para pelaku media pasti sudah memahaminya dengan baik. Akan tetapi
yang jadi pertanyaan adalah apakah mereka telah menjalankan
kewajiban-kewajibannya dengan baik?
Terjunnya
para pemilik media dan jurnalis media ke dalam ranah politik tentu saja sangat
berpengaruh terhadap pemberitaan pada medianya. Objektivitas dan titik fokus
pemberitaan akan mengalami gangguan. Padahal wartawan/ jurnalis yang bekerja
untuk media telah dibatasi dengan aturan-aturan yang tertuang dalam Kode Etik
Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers. Pada pasal 1 menjelaskan bahwa
wartawan Indonesia harus bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Walaupun
keberadaan wartawan dalam partai politik masih dalam perdebatan, pihak yang
tidak mempermasalahkannya memiliki alasan bahwa hal itu tergantung dengan
produk tulisan yang dibuat wartawan bersangkutan dan juga penugasannya. Boleh
jadi wartawan yang bersangkutan ditugaskan untuk membuat liputan lain yang
tidak ada korelasinya dengan perpolitikan, bisa olahraga, kuliner, lifestyle dan sebagainya. Tapi bagaimana
yang kita lihat pada realitasnya?
Pihak
yang menentang beranggapan bahwa semua liputan akan dengan mudah
disangkutpautkan dengan kepentingan partai politik tempat di mana wartawan
tersebut bernaung (malang.aji.or.id). Oleh karena itu wartawan dituntut untuk
dapat bersikap netral tanpa turut serta ke dalam partai politik. Bukankah
kebebasan pers diyakini dapat menjadi jembatan yang menghubungkan pemerintahan
kepada publik? Namun apa gunanya keberadaan jembatan tersebut malah membuat
publik menjadi gaduh?
Hal
inilah yang mengakibatkan timbulnya ketidakpercayaan publik terhadap media
tersebut. Netralitas media yang dipertanyakan membuat publik mengambil jalan
tengah dengan beralih ke media-media daring yang lebih mudah diakses. Bahkan
kebanyakan masyarakat cenderung menjadi penyebar informasi melalui akun media sosial
pribadinya. Media sosial dijadikan ajang untuk menyampaikan informasi secara
estafet. Justru hal ini menambah persoalan baru. Mengapa dikatakan demikian?
Penyebaran
berita melalui media daring, terkhusus media sosial tidak memiliki jaminan
terhadap materi pemberitaan. Sumber yang tidak jelas, bisa jadi hanya rekayasa,
disampaikan oleh orang yang tidak bertanggung jawab/ tidak kompeten dalam
bidangnya (bukan wartawan), identitas palsu yang tidak dapat dilacak
kebenarannya, dan juga tidak ada hukum tegas yang membatasinya. Beberapa hal
yang disebutkan di atas bisa menjadi pemicu semakin maraknya api perpecahan.
Seperti yang kita ketahui, masyarakat kita lebih cenderung memercayai sesuatu
yang menguntungkan baginya. Akan lebih berbahaya ketika setiap orang yang
membaca informasi hoaks tersebut membagikannya kepada orang lain lagi. Bisa
dibayangkan bukan bagaimana informasi-informasi melalui media sosial menjalar
dengan cepat?
Mengatasi permasalahan
Mengatasi
berkembangnya permasalahan ini mestilah dari akarnya. Pertama kali yang perlu
dilakukan adalah mengecek para pelaku media (pemilik dan jurnalis) apakah
terlibat dalam salah satu parpol. Kemudian kembalilah pada piagam Palembang
yang menegaskan bahwa wartawan harus ikut uji kompetensi dan menjunjung tinggi
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan media harus sudah terverifikasi dewan pers.
Dengan standarisasi yang dilakukan kita berharap pemilik media semakin
meningkatkan kualitasnya dalam produksi pemberitaan sehingga publik bisa
menaruh kepercayaan (antaranews.com).
Mengenai
langkah yang diambil Dewan Pers terhadap para pelaku media yang terlibat partai
politik disampaikan oleh anggota Dewan Pers Nasional, Jimmy Silalahi dalam
Seminar Literasi Digital bertajuk Saring Sebelum Sharing di Hotel Le Polonia
Medan, 20 September 2018, ia menegaskan Dewan Pers menindak setiap
wartawan/jurnalis yang terlibat dalam partai politik, baik itu sebagai calon
legislatif atau hanya sebagai tim sukses, dengan cara rutin mengeluarkan surat
edaran yang isinya meminta jurnalis yang bersangkutan untuk segera non aktif dari
profesinya. Dan akan lebih menyarankan untuk mengundurkan diri dari profesinya.
Setiap jurnalis yang memilih untuk memasuki partai politik secara otomatis
kehilangan legitimasi profesinya sebagai jurnalis.
Bagaimana
kalau sudah terlanjur? Seperti kata pepatah nasi sudah menjadi bubur. Pepatah
yang mungkin dapat mewakili kondisi media dan partai politik kita saat ini.
Tentu kita sama-sama mengetahui peta media yang ditunggangi oleh partai-partai
politik. Kalau sudah demikian yang bisa kita lakukan adalah membentengi diri
untuk tidak terikut arus berita yang tidak benar. Cara yang dapat dilakukan
adalah dengan menumbuhkan sikap skeptis terhadap berita yang kita terima.
Artinya kita jangan mudah percaya dengan berita yang kita dengar ataupun kita
baca, terlebih dahulu kita perlu melakukan verifikasi terhadap berita tersebut.
Adolf
Hitler pernah mengeluarkan pernyataan, “(Sering
kali) kepalsuan yang diulangi secara terus-menerus diterima sebagai kebenaran”.
Bertebarnya
media-media yang tidak bertanggung jawab menyebarkan berita-berita hoaks akan
sangat mudah mempengaruhi keyakinan masyarakat luas. Karena memang kondisi
psikis manusia yang mudah memercayai apa saja ketika satu hal disampaikan
berulang-ulang secara terus-menerus. Untuk mengantisipasinya maka kita perlu
menciptakan media tandingan yang akan menyebarkan informasi-informasi benar/
positif untuk melawan informasi-informasi negatif. Kita bisa mulai melalui
media sosial yang kita miliki. Bangunlah benteng yang tinggi untuk melindungi
diri, kemudian sebarkanlah berita-berita kontra propaganda yang dapat
mendamaikan khalayak.
Menjaga
netralitas media dalam tahun pemilu sangat penting dilakukan. Dengan begitu
kita telah mencegah segala bentuk perselisihan yang menyebabkan timbulnya
kubu-kubu yang memecah diri. Kelompok-kelompok yang termakan isu-isu yang
ditebar media dapat kembali ke jalan yang benar untuk menciptakan perdamaian di
negeri kita. Karena sudah lama sekali kita menginginkan pemilu yang damai.
Karena sudah lama sekali kita ingin mewujudkan harapan “Damai itu Indonesia”.
*Penulis adalah alumni Sastra Indonesia UNIMED dan Anggota Duta Damai
Sumatra Utara.
Komentar
Posting Komentar