Oleh: Alda Muhsi
Opini ini ditulis untuk menanggapi tulisan seorang teman penulis yang berjudul "Kampus Terpapar Paham Radikal" yang dimuat di Harian Analisa, Kamis, 11 Juli 2019. Bisa dibaca di sini.
Seminggu kemudian Opini ini ditayangkan pula oleh Harian Analisa, Rabu, 17 Juli 2019.
Opini ini ditulis untuk menanggapi tulisan seorang teman penulis yang berjudul "Kampus Terpapar Paham Radikal" yang dimuat di Harian Analisa, Kamis, 11 Juli 2019. Bisa dibaca di sini.
Seminggu kemudian Opini ini ditayangkan pula oleh Harian Analisa, Rabu, 17 Juli 2019.
Membaca
opini Ali Munir, S.Pd., berjudul “Kampus Terpapar Paham Radikalisme” terbit
pada Kamis, 11 Juli 2019, yang menjelaskan hasil survei Setara Institute soal
model beragama para mahasiswa pada 10 perguruan tinggi negeri (PTN) di
Indonesia membuat saya memiliki beberapa pertanyaan penting dan ketidaksetujuan
pendapat terhadap apa yang sampaikan. Apalagi setelah hasil survei tersebut
mengejutkan banyak pihak, yaitu kesepuluh perguruan tinggi negeri (PTN)
terindikasi terpapar paham Islam radikal. Di mana dalam survei itu dikatakan
paham Islam radikal tersebut dibawa oleh kelompok keagamaan yang eksklusif
yakni dari kelompok yakni salafi-wahabi, tarbiyah, dan tahririyah. Lima di
antara sepuluh PTN tersebut disinyalir memiliki mahasiswa yang cenderung
bersikap konservatif-fundamentalis dalam beragama.
Beliau
juga memaparkan alat ukur fundamentalisme dalam pandangan agama, yang diajukan
kepada mahasiswa responden dengan menanyakan persetujuan atas beberapa
pernyataan sebagai berikut: 1. Jalan keselamatan dunia dan setelah mati hanya
terdapat dalam ajaran agamaku. 2. Hanya ajaran agamaku yang bisa menjawab
tuntas segala kebutuhan rohani setiap manusia. 3. Ajaran agamaku sudah
sempurna, dan saya tidak memerlukan pedoman tambahan di luar agama. 4. Hanya
ajaran agamaku yang dapat mewujudkan keadilan bagi masyarakat Indonesia. 5.
Indonesia menjadi aman jika semua penduduknya seagama denganku.
Kelima
pertanyaan tersebut perlu dituliskan ulang karena itulah yang menjadi dasar
dimulainya pertanyaan saya. Pertanyaan paling dasar adalah apakah survei
dilakukan secara jujur dan terbuka? Artinya penyurvei menjelaskan abstraksi
dilaksanakannya survei tersebut, berikut dengan tujuan dan harapannya.
Kemudian
apa yang salah dengan jawaban-jawaban yang akan dilontarkan atas pertanyaan
tersebut. Tentu saja setiap agama meyakini ajarannya yang paling benar.
Persoalan akan muncul ketika di tengah ragam agama di Indonesia kita berteriak
bahwa kitalah yang paling benar. Artinya ada pemaksaan kehendak kepada
masyarakat luas untuk mengakui bahwa hanya agama tertentulah yang paling benar.
Agama adalah soal iman dan keyakinan, dan itu semua sudah final tertanam dalam
hati dan jiwa masing-masing. Jadi ketika ada yang mencoba membenturkannya
dengan survei atau kuesioner di tengah publik di sanalah letak kesalahannya
karena sudah menempatkan sesuatu di tempat yang tidak sesuai. Jangan-jangan
survei yang dilakukan adalah sebuah bentuk intimidasi atau menyudutkan salah
satu kelompok tertentu. Karena pertanyaan-pertanyaan sensitif seperti itu tidak
layak diajukan dalam forum umum hanya sekadar mencari pembenaran atas hipotesis
yang dimiliki. Terlebih dengan adanya universitas berbasis agama yang dipilih
sebagai lokasi surveinya.
Kemudian
bagaimana cara kita menuding dan menyimpulkan bahwa paham radikal tersebut
dibawa oleh kelompok salafi-wahabi, tarbiyah, dan tahririyah, yang cenderung
dikooptasi oleh golongan Islam tertentu yang tertutup atau eksklusif? Di
sinilah letak ketidaksetujuan saya. Saya pikir secara global kita telah
menyepakati terorisme itu bukanlah Islam. Terorisme bukanlah soal agama
tertentu. Terorisme adalah kejahatan manusia yang harus dimusnahkan.
Apalagi
jika mengikuti konsep fundamentalisme yang dikatakan E. Marty, sebagaimana
teori yang tertuang dalam opini tersebut, kelompok fundamentalis menolak sikap
kritis terhadap teks dan interpretasinya karena teks harus dipahami sebagaimana
adanya. Nalar dianggap tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap
teks. Oleh sebab itu kelompok ini juga disebut tekstualis. Bagaimana dengan
Q.S. Al-Maidah ayat 32, yang secara tekstualis mengatakan, “Oleh karena
itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barang siapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.”
Bukankah
dikatakan dan jelas kita lihat kelompok paham radikal dan kelompok terorisme selalu
menggunakan cara kekerasan dalam setiap aksinya? Bukankah Al-Qur’an adalah kita
suci umat Islam, termasuk kitab suci para kelompok salafi-wahabi, tarbiyah, dan
tahririyah tersebut? Bukankah fundamentalis yang disangkakan menjunjung tinggi
tekstualis? Lalu bagaimana mungkin mereka mengingkari teks yang tertuang dalam
kitab suci agamanya sendiri? Apa kata yang pantas bagi penganut agama yang
dengan nyata menentang atau melanggar kitab sucinya sendiri?
Memanfaatkan momentum
Hal
yang perlu diketahui sebenarnya adalah kelompok paham radikal selalu pandai
mencari celah dan momentum untuk menyebarkan ajarannya. Mereka bukanlah
orang-orang bodoh yang hanya berdiam diri. Bisa jadi mereka adalah kelompok
minoritas yang ingin menjadi penguasa. Karena dalam kebudayaan setiap yang
minoritas akan lebih berbahaya. Mereka melakukan banyak persiapan untuk
berkembang dan mencapai kemajuan. Sementara yang mayoritas akan merasa santai
dengan kehidupan yang dihadapi saat ini. Hingga tidak menyadari adanya
pergerakan-pergerakan kecil yang semakin lama semakin mengancam.
Kalau ditilik lagi perkembangan pola rekrutmen
kelompok paham radikal dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan. Kalau
dulu mereka melakukan rekrutmen dengan mendatangi dari pintu ke pintu, saat ini
telah berkembang seiring dengan perkembangan zaman, media online sudah menjadi media mereka untuk melakukan rekrutmen. Dulu
mereka melakukan pendekatan terhadap laki-laki karena dianggap sebagai pemimpin
keluarga, tapi sekarang telah bergeser melakukan pendekatan kepada perempuan
karena diyakini laki-laki akan mudah mengikuti kata-kata perempuan, dan
perempuan adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya kelak. Nah, saat ini sudah
mulai berlaku pula pendekatan kepada mahasiswa baru yang akan menjadi
pemimpin-pemimpin masa depan. Mahasiswa yang masih dalam tahapan mencari jati
diri tentu saja dengan mudah dijejali teori-teori paham radikal. Begitulah pola
yang terjadi. Kelompok paham radikal selalu bisa memanfaatkan momentum. Mereka
tahu kapan harus beraksi, dan mereka tahu target yang ingin mereka dekati.
Eksekusi yang dilakukan pun berjalan dengan lembut sehingga kita tidak
menyadari keberadaannya.
Kenapa Islam?
Sejalan
dengan pemaparan di atas, Kepala BNPT-RI, Suhardi Alius, dalam esainya Menolak Terorisme, yang termaktub dalam Bunga Rampai Pemahaman yang Membawa Bencana,
Kumpulan Esai Penanggulangan Terorisme (2017) menyebutkan adanya terorisme
kontemporer telah memanipulasi realitas geopolitik global, seperti berbagai
ketidakstabilan yang terjadi di negara-negara Timur Tengah (negara muslim)
sebagai akibat intervensi AS dan negara Eropa. Hal ini dijadikan kelompok
teroris sebagai momentum untuk menyusupkan propaganda melalui dalil-dalil agama
dan sejarah kejayaan Islam dalam menyaring anggota baru atau rekrutmen. Tentu
saja propaganda tersebut akan mudah mendapatkan simpati dengan dalih
solidaritas umat seiman.
Kondisi
tersebut yang tengah bergejolak di Indonesia, sebagai negara dengan penduduk mayoritas
muslim. Ancaman-ancaman ketakutan akan tertindas atau akan bernasib sama
seperti negara Timur Tengah membuat mereka terprovokasi untuk membentuk satu
kelompok yang ingin mengambil alih kekuasaan dan mengganti ideologi, meskipun
harus memakai cara-cara kekerasan. Kelompok tersebut mengatasnamakan islam,
menggunakan istilah-istilah dalam agama islam agar penyamarannya tidak
diketahui masyarakat. Tentu saja hal ini merugikan eksistensi umat Islam.
Peran
para ulama, tokoh agama, ormas-ormas Islam, dan seluruh pesantren sangat
diperlukan agar tidak hanya diam menyaksikan fenomena ini. Seruan pernyataan
tindak terorisme bukanlah jihad perlu ditegaskan setiap saat untuk menangkis
tudingan-tudingan pelaku teroris adalah tuntutan Islam. Sehingga mata dunia terbuka
dan dapat menerima Islam sebagai agama Rahmatan
Lil Alamin, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Akhirnya timbul pertanyaan yang sangat besar
mengenai identitas asli para pemasok paham radikal tersebut. Siapakah mereka
sebenarnya?
Komentar
Posting Komentar