Resensi buku Sehimpun Puisi Setungkul Benang Karya Ubai Dillah Al Anshori
Judul :
Setungkul Benang (Kumpulan Puisi)
Penulis : Ubai Dillah Al Anshori
Penerbit : Obelia Publisher
Cetakan : Cetakan I, Maret 2018
Tebal : 80 Halaman
ISBN : 978-602-50947-9-8
Peresensi : Alda Muhsi
Ubai Dillah Al Anshori
menjadikan puisi semacam buku harian. Di mana setiap melangkahkan kaki dan
melakukan pemberhentian, ia dengan jeli menyusun bait demi bait menjadi puisi.
Ia merekam dan menyimpan semua peristiwa yang dialaminya ke dalam bentuk puisi.
Tidak heran jika kita akan menemukan rentetan kenang yang tersaji dalam buku kumpulan
puisi ini. Inilah mengapa dikatakan memelihara ingatan lewat puisi.
Setiap penyair memiliki
cara sendiri untuk mendapatkan ide/inspirasi ketika hendak menulis puisi. Dalam
buku ini tergambar bahwa penyair menjadikan pengalaman empiriknya, pengalaman
yang dilaluinya, baik itu pengalaman pribadi yang terjadi dalam dirinya, maupun
apa yang dilihatnya dari peristiwa-peristiwa yang terjadi kepada orang lain.
Atas dasar pengalaman empirik itulah Ubai Dillah Al Ansori berhasil
merampungkan 70 puisi yang termaktub dalam antologi.
Sebagian besar puisi
bercerita soal kerinduan, kisah-kisah kepergian dan kepulangan, perputaran dan
perjalanan waktu yang tak dapat dikembalikan. Ini menunjukkan bahwa keadaan
dominan masyarakat (khususnya lingkungan sekitar penyair) masih berkutat terhadap
persoalan-persoalan itu. Hal itu kemudian membuat penyair resah dan menjadikan
keresahan-keresahan itu puisi-puisi dengan metafora indah yang menawan pembaca.
Bisa dilihat pada penggalan puisi berjudul Menjadi
Kota di bawah ini:
…
aku
ingin menjadi kota yang cinta pendidikan, agar di dalamnya
anak-anak
mengenal angka dan huruf
bahkan
mencintai budaya di dadanya
aku
ingin menjadi kota yang ingat akan
sejarah
percintaan dan darah dari
pahlawan
(hlm.
57)
puisi yang tumbuh didasari oleh
pengamatan alam sekitar akan menampilkan wujud keprihatinan seorang penyair terhadap
persoalan serius yang tengah terjadi di kotanya (secara khusus) dan di negeri
ini (secara umum). Penyair berhasil melakukan itu, menjaga tekad dan harapan
yang kuat melalui tonggak puisi yang dimilikinya.
Walau bicara soal
kenangan dan kerinduan, tapi bukan sembarang kerinduan, tetap masih ada hal
yang ditekankan. Ada makna tersirat yang mesti kita gali untuk mendapatkan
pemahaman terhadap apa yang ditulis Ubai. Mari simak penggalan puisi Setungkul Benang berikut:
kanak
bermain layang-layang
menabur
mimpi tanpa lekang
dengan
setungkul benang
bila
petang tiba, pertanda telah usai
mimpi
kerap ditamatkan
pulang
dengan
setungkul
benang yang kusut
….
(hlm. 20)
Jika kita memaknai secara tekstual, kita akan
dibawa kepada ingatan masa kecil. Bagaimana asyiknya kita bermain layang-layang
seolah sedang menggantungkan mimpi-mimpi pada layangan kita. Namun, jika kita
lihat pesan-pesan tersirat melalui simbol-simbol yang dihadirkannya dalam
puisi, puisi ini bisa jadi bukan menekankan dan tidak menyentuh ingatan masa
kecil kita. Justru puisinya menjadi pengingat bahwa sudah saatnya kita
realisasikan mimpi-mimpi yang selama ini kita bawa tidur. Sebelum terlambat,
sebelum usia petang datang, mimpi-mimpi harus diraih jika pada akhirnya tidak
ingin penyesalan, kekecewaan, kesedihan, saling menyimpul umpama benang kusut
yang tersekat dalam jiwa kita.
Komentar
Posting Komentar