Artikel ini pertama kali dipublikasikan oleh Harian Analisa, edisi Jumat, 30 Agustus 2019
Oleh: Alda Muhsi
Oleh: Alda Muhsi
Kesepakatan
yang telah kita pahami secara umum mengenai kata “radikal” sampai hari ini
adalah berasal dari bahasa latin “radix”
yang berarti akar. Kemudian jika diindonesiakan radikal memiliki pengertian menuju
ke akar atau berpikir sampai ke akar-akarnya. Menurut KBBI radikal berarti: a secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip);
a Pol amat keras menuntut perubahan
(undang-undang, pemerintahan); a maju
dalam berpikir atau bertindak. Merujuk pada pengertian itu tentu saja kata
radikal bersifat positif. Dan ketika kita melakukan pekerjaan berpikir,
berfilsafat, kita akan menemukan fakta bahwa setiap sendi kehidupan kita tidak
akan lepas dari aktivitas radikal.
Selama
aktivitas radikal masih dalam ranah yang baik dan benar tidak akan ada masalah
dengan persoalan itu. Pertanyaannya kenapa dewasa ini kata radikal menjadi
menakutkan? Bahkan dikait-kaitkan dengan tindak terorisme.
Radikal
menjadi berbahaya ketika ada sekelompok orang yang ingin berjuang atau
bertindak atas pemikirannya. Mereka menganggap pemikiran kelompoknya yang
paling benar yang harus diwujudkan di muka bumi. Kemudian kefanatikan itu
berubah menjadi aliran pemikiran yang mau tidak mau telah terjadi. Kata radikal
semakin mengancam saat itu, ketika tambahan –isme
mengiringinya menjadi Radikalisme.
Sejarah
munculnya paham radikal menurut beberapa referensi bermula di Britania Raya
pada abad ke-17 untuk kepentingan sosial politik. Seorang tokoh yang bernama Charles James Fox pada
tahun 1797 mendeklarasikan “reformasi radikal” sebagai sistem pemilihan. Jika
dicermati dari sejarah kemunculannya kita bisa memahami adanya radikalisme
bertujuan untuk mengambil alih atau menguasai sebuah negara.
Perkembangan radikalisme di
Indonesia
Bagaimana
perkembangannya di negara kita hingga saat ini? Lalu apa kaitannya dengan
tindak terorisme?
Radikalisme
muncul di negara kita semacam terlalu dipaksakan. Mengapa dikatakan demikian?
Radikalisme yang datang dari pengaruh luar muncul karena adanya konteks
persoalan negara luar yang dibawa ke negara kita. Semisal konflik yang terjadi
di Timur Tengah. Konflik tersebut digiring dan dibawa masuk ke negara kita
sehingga kita seolah-olah memiliki persoalan yang sama. Padahal jelas dan nyata
sekali konflik tersebut tidak cocok dengan kita. Negara kita memiliki konteks
persoalannya sendiri.
Bagaimana
ciri-ciri radikalisme yang salah dan yang menyesatkan di negara kita? Tentu
saja kita perlu mengetahuinya agar dapat menyamakan persepsi. Radikalisme dalam
konteks Indonesia akan terlihat dan ditandai dengan adanya intoleransi, anti
pancasila, anti UUD 1945, anti NKRI, dan anti kebinekaan.
Menurut
Prof. Dr. Syahrin Harahap dalam seminar “Harmoni dari Sekolah: Integrasi
Nilai-nilai Agama dan Budaya di Sekolah dalam Menumbuhkan Harmoni Kebangsaan”
yang dilaksanakan oleh FKPT Sumatera Utara di Hotel Miyana, Deliserdang, 22
Agustus 2019, awal mula radikalisme tumbuh yaitu ketika merasa diri paling
benar, orang lain salah, dan ada desakan dari dalam hati ingin memperbaiki
kesalahan orang tersebut.
Kemudian
beliau menyebutkan juga ada empat macam radikalisme yang berkembang yaitu:
radikal pikiran, radikal agama, radikal sikap, dan radikal perbuatan, Belakangan
ini perkembangan radikalisme di Indonesia sudah menyentuh dan mendominasi pula
dalam ranah agama. Pemahaman agama yang dangkal menjadi penyebabnya. Oleh
karena itu pemahaman agama harus secara dasar dan mendalam, tidak
setengah-setengah dan dangkal.
Berkaitan dengan terorisme
Anggapan
mengenai para pelaku tindak terorisme tidak muncul begitu saja memang benar
adanya. Tentu ada tahapan-tahapan dan perkembangan yang mesti dilalui sebelum
sampai di sana. Tahapan itu dimulai ketika seseorang mulai terpapar paham
radikal. Mengapa bisa terjadi? Bagaimana proses tersebut bisa terjadi dengan
cepat?
Selain
pemahaman yang dangkal terhadap agama, keadaan psikologis juga menjadi
penyebabnya. Bagaimana kondisi kehidupan kita, bagaimana penerimaan kita
terhadap perbedaan, dan sebagainya. Kelompok teroris bisa mengetahui itu karena
mereka membaur dalam kehidupan sehari-hari, dan mereka selalu mengintai. Oleh
karena itu kita harus meningkatkan kewaspadaan.
Kelompok
teroris memilih empati dari calon pengikutnya melalui pendekatan dari sisi
agama karena hal itu dianggap paling mudah dan sensitif. Selain dengan
contoh-contoh yang banyak dijelaskan dalam agama, topik-topik yang dibicarakan
dalam agama adalah perihal perlawanan. Pola terorisme yang berkembang saat ini
memanfaatkan dunia maya untuk menjaring anggota, menyebarkan hoaks sebagai
strategi radikal, menggunakan strategi media (framing) untuk kepentingan radikal terorisme. Awalnya hanya website, dan sekarang sudah merambah ke chat room media sosial. Oleh karena itu
kita perlu membendungnya dengan cara memahami dalil-dalil agama yang menjadi
propaganda dengan bijak, dan kita perlu waspada untuk menyaring apa yang kita
terima di dunia maya dan media sosial.
Ketika
kita memandang agama, tentunya kita bisa melihat dari tiga sisi, yaitu pertama normative religion, ajaran yang ada
dalam kitab suci dan pembawanya (nabi), di sini secara jelas dan pasti tidak
radikal. Kedua rasional religion,
pikiran para ahli dan tokoh tentang agama itu, di sini sering terjadi hal-hal
yang belum tentu cocok dengannya, dan dalam pemahaman manusia, di sini ada
pemikiran yang cenderung radikal. Ketiga empiric
religion, para pelaku yang bertindak. Dalam hal ini kecenderungannya adalah
apa yang dipahami dan diyakini begitulah yang dilakukan. Jadi, bisa dipastikan
ketika radikalisme dan tindak terorisme terjadi itu bukan disebabkan oleh
ajaran dan tokoh agamanya, melainkan orangnya.
Setiap manusia memang berpotensi radikal, tapi
untuk meningkatkan levelnya menjadi radikalisme jangan pernah sekalipun kita menjadi
hakim dengan menuduh orang lain sebagai pelakunya, karena ketika kita mulai
merasa paling benar, di situlah bibit unggul intoleransi tumbuh berkembang.
Komentar
Posting Komentar