Judul : Tanah Surga Merah (Novel)
Penulis : Arafat Nur
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Cetakan II, November 2019
Tebal : 312 Halaman
ISBN : 9786020333359
Mengulas sebuah novel bukan perkara mudah. Apalagi ketika membacanya dalam waktu yang singkat. (Saya membacanya sejak 14 Februari sampai 18 Februari). Oleh karena itu, yang saya lakukan di sini bukanlah mengulas, melainkan lebih dekat ke pandangan atau pendapat yang bisa saya utarakan setelah membaca Tanah Surga Merah karya Bang Arafat Nur.
Sedari awal saya sangat menikmati apa yang tersaji. Khususnya ketika Bang Arafat memperkenalkan tokoh-tokoh dalam novelnya.
Catatan pertama saya ialah, beliau menyusupkan perkenalan karakter tokoh-tokohnya dalam adegan-adegan sambil lalu. Artinya bukan seperti perkenalan murid baru di depan kelas, yang sengaja diminta memperkenalkan diri sesuai dengan daftar urutan yang berlaku. Dan saya rasa itu begitu istimewa karena pembaca merasa mampu mengenal karakter seirama dengan mengikuti alur cerita yang dibangun.
Catatan kedua mengenai detail latar yang sangat perinci. Mulai dari lorong, gunung, tanaman dan pohon, parit, dan sebagainya. Bang Arafat menuliskannya dengan sangat detail. Walaupun begitu, ada konsekuensi yang harus kita terima pada bab-bab selanjutnya, yaitu Bang Arafat menghadirkan latar tempat tersebut menjadi ada kesan penyampaian yang berulang-ulang.
Catatan ketiga mengarah kepada tokoh utama, Murad, yang cenderung masih memiliki sifat labil dalam karakter yang dibangun. Terkadang ia bisa begitu keras menentang, tapi karena satu-dua hal ia jadi lembek terhadap apa yang dipertentangkannya. Terkadang ia teguh pada pendirian, di waktu yang lain ia berubah gundah. Hal ini menjadi sangat manusiawi mengingat tidak semua yang kita rencakanan akan berjalan baik. Atau manusia hanya bisa berencana, tapi Tuhan yang menetapkan.
Catatan keempat, fokus cerita yang berubah. Di awal cerita, tokoh utama, Murad yang sudah 5 tahun meninggalkan kampung halamannya, Aceh, datang kembali (pulang kampung) dengan niat untuk menggagalkan penyelenggaraan pemilu (tepatnya menggagalkan kemenangan partai petahana karena memimpin sangat buruk). Namun, seiring kegagalan yang terus menerus menghampiri upayanya, dan pada akhirnya ia menjadi buronan, ia terpaksa mengasingkan diri ke tempat yang sangat jauh, yang sulit terjamah manusia, dan niat awal menggagalkan pemilu tidak tercapai. Ia melarikan diri (kembali) ditemani seorang perempuan yang membuatnya kagum dan jatuh cinta.
Komposisi yang baik membuat novel ini tidak monoton dan garing. Konflik-konflik yang terjadi diselingi kisah cinta dan humor yang hadir secara alami. Busur panahnya mengarah pada kritik sosial kehidupan di Aceh pasca perdamaian (GAM). Pertanyaannya adalah apakah novel ini menjadi representasi kehidupan nyata? Pasalnya peristiwa-peristiwa yang terjadi cukup bisa diterima logika sebagai fakta.
Teks dan foto oleh: Alda Muhsi
Komentar
Posting Komentar