Langsung ke konten utama

Menyoal Ketepatan Sasaran Program Sejuta Rumah

Oleh: Alda Muhsi



Senyaman-nyaman tinggal di rumah orang lain, lebih nyaman tinggal di rumah sendiri. Kalimat yang kerap kita dengar di tengah masyarakat itu berlaku bagi yang sudah memiliki rumah, bagi yang belum tentulah angan-angan belaka. Seandainya, seandainya, dan terus berandai-andai.

Kalimat di atas juga tidak sepenuhnya benar, hanya soal persepsi dan psikologi saja. Di rumah orang lain kita terbebani rasa sungkan dan wajib mematuhi aturan sang empunya rumah, sementara di rumah sendiri kita bisa berleha-leha melakukan apa yang kita kehendaki. Jika ditilik dengan mata telanjang tentulah tinggal di rumah gedongan dengan fasilitas mewah (walaupun milik orang lain) lebih mengasyikkan daripada tinggal di kamar sepetak atau rumah beratap rumbia, berdinding bambu, dan berlantai tanah milik sendiri di mana angin kencang dan hujan deras menjadi ancaman yang menakutkan. Secara alamiah begitulah rata-rata kebiasaan manusia, terlebih masyarakat kita. Makanya tidak jarang kita melihat banyak orang senang memamerkan kekayaan yang bukan miliknya ke khalayak (tak hanya soal rumah yang sedang kita bahas).

Berbicara soal rumah tentu saja sebagian besar masyarakat bermimpi memiliki rumah yang layak disebut rumah sesuai dengan fungsinya. Rumah yang aman, nyaman, sejuk, tenteram, dapat berlindung dari panas terik dan hujan, serta kejahatan manusia, hewan, maupun bencana alam. Namun, sekarang ini berapa banyak orang yang mampu mewujudkan mimpi mahal tersebut? Kehadiran negara dalam hal ini masih menjadi tanda tanya besar, sejauh apa negara mampu mengayomi dan jadi tempat merealisasikan mimpi itu?

Memang tidak tinggal diam, negara melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memiliki program jitu yang berpihak kepada rakyat untuk turut membantu mewujudkan mimpi memiliki rumah sendiri. Program yang sudah berjalan sejak 2015 itu dikenal dengan Program Sejuta Rumah. Secara statistik data Program Sejuta Rumah menghasilkan tren positif dengan terus menunjukkan peningkatan. Merujuk dari laman www.perumahan.pu.go.id pada tahun 2015 program ini berhasil membangun sebanyak 699.770 rumah, kemudian pada tahun 2016 sebanyak 805.169 rumah, tahun 2017 sebanyak 904.758 rumah, tahun 2018 sebanyak 1.132.621, dan pada tahun 2019 mencapai 1.257.852 rumah.

Peningkatan yang terjadi selama 4 tahun terakhir tersebut tak ayal membuat Program Sejuta Rumah terus berlanjut di tahun 2020. Lantas, bagaimana soal sasaran penerima program ini? Sudah layakkah penerima program ini sesuai dengan syarat yang diberikan.

Perlu diketahui, syarat menjadi penerima Program Sejuta Rumah tidaklah sulit, hanya ada dua syarat yang harus dilewati. Pertama, penerima memiliki penghasilan di bawah atau maksimal Rp 4.000.000,- per bulan untuk rumah tapak, dan di bawah atau maksimal Rp 7.000.000,- per bulan untuk rumah susun. Kedua, calon penerima Program Sejuta Rumah belum pernah menerima fasilitas pembiayaan perumahan subsidi pemerintah. Dengan kata lain, calon penerima belum memiliki rumah atas namanya. Karena pada prinsipnya Program Sejuta Rumah ini dikhususkan untuk kepemilikan rumah pertama.

Namun, bagaimana kondisinya di lapangan? Sudah tepat sasarankah program ini?

Kita bersyukur pemerintah membuka mata terhadap mimpi masyarakat untuk memiliki rumah dengan menyelenggarakan program ini. Akan tetapi yang menjadi ketakutan adalah adanya oknum yang menggunakan identitas orang lain untuk menerima program sejuta rumah ini sebagai peluang baginya untuk berinvestasi. Misalnya seorang saudagar kaya raya yang membeli rumah dengan mengatasnamakan pembantu-pembantu, supir, atau tukang kebunnya yang berasal dari kampung? Tentunya dengan iming-iming yang disepakati kedua belah pihak, kemudian rumah itu dikontrakkan setelah serah terima dilakukan. Bayangkan jika setiap saudagar kaya raya yang ada di wilayah masing-masing melakukan kejahatan ini. Jelas saja ini kecurangan yang menyakiti masyarakat. Sementara di sisi lain pemerintah telah berbangga diri dengan capaian-capaian rumah yang dibangunnya? Apakah memang seperti itu budaya yang mengakar di lingkungan pejabat kita? Menyelenggarakan sebuah program dan melakukan perayaan ketika telah menyelesaikannya tanpa merasa perlu mengawal program tersebut tepat sasaran kepada masyarakat? Kalau ketakutan ini benar terjadi bagaimana pula langkah pemerintah dalam hal ini Ditjen Perumahan mengantisipasinya?

Satu hal lain yang menjadi persoalan adalah bagaimana masyarakat miskin yang tidak memiliki penghasilan, yang selama ini tinggal di bilah-bilah bambu yang dindingnya berlapis koran dan alas tidurnya adalah karton bekas bisa mewujudkan mimpinya memiliki rumah? Keseriusan pemerintah dalam mewujudkan mimpi masyarakat untuk memiliki rumah selayaknya tidak dihitung dengan rumus bisnis semata. Persoalan kesejahteraan dan kehidupan layak bagi masyarakat yang telah diatur dalam konstitusi sepatutnya menjadi perhatian nomor satu. Barangkali ke depannya Ditjen Perumahan bisa memikirkan soal program lain yang mengatur setidaknya dalam setiap tahun membangun/merenovasi dan membagikan cuma-cuma rumah layak huni bagi masyarakat yang selama ini tinggal di dalam gubuk reyot yang menyedihkan. Tentunya dengan data yang sangat akurat dan pengawalan ketat agar sasaran tepat tak melesat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat Pindah Alamat Berlangganan Indihome

sumber: google   Masa kontrakan habis, mau pindah ke kontrakan baru, tapi gimana dengan layanan indihome yang sudah terpasang? Tentu saja kita ingin memindahkan perangkat tanpa harus ada embel-embel pasang baru agar terhindar dari biaya pasang yang bernilai Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Itulah kemauan kita, tapi berbeda dengan aturan yang ditetapkan oleh pihak Telkom. Kejadian itu menimpa saya. Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke Plaza Telkom Jalan Putri Hijau Medan dengan tujuan untuk memindahkan perangkat i ndihome saya dari kontrakan lama ke kontrakan baru. Setelah naik ke lantai 2 (kantor pelayanan) saya mengantre beberapa saat, tidak pakai selembaran kertas nomor antrean, katanya mereka pakai sistem digital, pelanggan hanya dipotret, dan nanti tiba gilirannya CS akan menghampiri (sebuah inovasi pelayanan dan langkah bijak untuk menghemat pemakaian kertas). Tiba giliran saya untuk mengadu persoalan saya. Namun, jawaban sang CS tidak bisa menenteramkan hati,

[CERPEN ANAK] PR Feby

Akhirnya Redaktur Taman Riang Harian Analisa berkenan kembali mempublikasikan cerpen anak saya. Cerpen ini saya kirim bulan Oktober 2017 dan baru diterbitkan edisi Minggu, 7 Januari 2018.  Terima kasih saya haturkan, dan semoga berkenan menerbitkan cerpen-cerpen selanjutnya. Hehehe... Ayo menulis cerita anak untuk menyelamatkan anak-anak dari serangan game online dan medsos yang melumpuhkan akal. Ilustrasi: Analisa Oleh Alda Muhsi Feby merupakan murid kelas 2 sekolah dasar di SD Negeri 011. Setiap hari gurunya selalu memberikan PR dengan alasan untuk melatih daya ingat, dan membiasakan agar murid-muridnya rajin belajar. Dalam kelasnya, Feby termasuk murid yang rajin mengerjakan PR. Tak pernah sekalipun ia luput dari PR-nya. Feby telah dibiasakan orang tuanya agar sepulang sekolah harus menyelesaikan PR. Berbeda dari biasanya, hari ini sepulang sekolah Feby diajak Amanda untuk berkunjung ke rumahnya. Amanda merupakan seorang murid baru, pindahan dari Jakarta. Feby ya

Teja Purnama, Sosok Penyair Kota Medan

(Catatan ini ditulis pada tahun 2012 oleh Alda Muhsi, Ferry Anggriawan, dan Sari Uli Octarina Panggabean semasa kuliah saat bertemu di Taman Budaya Sumut) Teja Purnama Lubis, lahir di Medan pada tanggal 19 Januari 1973. Anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Asmara Kusuma Lubis dan Rosmiati. Yang kini berdomisili di jalan Karya gang Suka Damai no. 5-H Kecamatan Medan Barat. Mempunyai tiga orang anak dengan istri Awalina Nasution. Modal awal menjadi seorang penyair baginya adalah membaca. Sewaktu kecil, kakek dan ayahnya banyak meninggalkan buku sastra lama. Setiap minggunya ia juga disuguhkan majalah anak-anak seperti Majalah Bobo. Ia pun tak menyangka pada akhirnya setelah memasuki SMP, ternyata ia mencintai dunia sastra. Hal itu terlihat bahwa pada masa SMP ia telah hobi membaca puisi. Hal ini juga berlanjut pada masa SMA hingga kuliah setiap perlombaan baca puisi ia pasti mendapatkan juara 1. Setelah membaca puisi, ia juga menyalurkan bakatnya lewat tulisan ka