Senyaman-nyaman tinggal di
rumah orang lain, lebih nyaman tinggal di rumah sendiri. Kalimat yang kerap
kita dengar di tengah masyarakat itu berlaku bagi yang sudah memiliki rumah,
bagi yang belum tentulah angan-angan belaka. Seandainya, seandainya, dan terus
berandai-andai.
Kalimat di atas juga tidak
sepenuhnya benar, hanya soal persepsi dan psikologi saja. Di rumah orang lain
kita terbebani rasa sungkan dan wajib mematuhi aturan sang empunya rumah,
sementara di rumah sendiri kita bisa berleha-leha melakukan apa yang kita
kehendaki. Jika ditilik dengan mata telanjang tentulah tinggal di rumah
gedongan dengan fasilitas mewah (walaupun milik orang lain) lebih mengasyikkan
daripada tinggal di kamar sepetak atau rumah beratap rumbia, berdinding bambu,
dan berlantai tanah milik sendiri di mana angin kencang dan hujan deras menjadi
ancaman yang menakutkan. Secara alamiah begitulah rata-rata kebiasaan manusia,
terlebih masyarakat kita. Makanya tidak jarang kita melihat banyak orang senang
memamerkan kekayaan yang bukan miliknya ke khalayak (tak hanya soal rumah yang
sedang kita bahas).
Berbicara soal rumah tentu
saja sebagian besar masyarakat bermimpi memiliki rumah yang layak disebut rumah
sesuai dengan fungsinya. Rumah yang aman, nyaman, sejuk, tenteram, dapat berlindung
dari panas terik dan hujan, serta kejahatan manusia, hewan, maupun bencana
alam. Namun, sekarang ini berapa banyak orang yang mampu mewujudkan mimpi mahal
tersebut? Kehadiran negara dalam hal ini masih menjadi tanda tanya besar,
sejauh apa negara mampu mengayomi dan jadi tempat merealisasikan mimpi itu?
Memang tidak tinggal diam,
negara melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memiliki
program jitu yang berpihak kepada rakyat untuk turut membantu mewujudkan mimpi
memiliki rumah sendiri. Program yang sudah berjalan sejak 2015 itu dikenal
dengan Program Sejuta Rumah. Secara statistik data Program Sejuta Rumah menghasilkan
tren positif dengan terus menunjukkan peningkatan. Merujuk dari laman
www.perumahan.pu.go.id pada tahun 2015 program ini berhasil membangun sebanyak
699.770 rumah, kemudian pada tahun 2016 sebanyak 805.169 rumah, tahun 2017
sebanyak 904.758 rumah, tahun 2018 sebanyak 1.132.621, dan pada tahun 2019
mencapai 1.257.852 rumah.
Peningkatan yang terjadi selama
4 tahun terakhir tersebut tak ayal membuat Program Sejuta Rumah terus berlanjut
di tahun 2020. Lantas, bagaimana soal sasaran penerima program ini? Sudah layakkah
penerima program ini sesuai dengan syarat yang diberikan.
Perlu diketahui, syarat
menjadi penerima Program Sejuta Rumah tidaklah sulit, hanya ada dua syarat yang
harus dilewati. Pertama, penerima memiliki penghasilan di bawah atau maksimal
Rp 4.000.000,- per bulan untuk rumah tapak, dan di bawah atau maksimal Rp
7.000.000,- per bulan untuk rumah susun. Kedua, calon penerima Program Sejuta
Rumah belum pernah menerima fasilitas pembiayaan perumahan subsidi pemerintah. Dengan
kata lain, calon penerima belum memiliki rumah atas namanya. Karena pada
prinsipnya Program Sejuta Rumah ini dikhususkan untuk kepemilikan rumah
pertama.
Namun, bagaimana kondisinya
di lapangan? Sudah tepat sasarankah program ini?
Kita bersyukur pemerintah
membuka mata terhadap mimpi masyarakat untuk memiliki rumah dengan
menyelenggarakan program ini. Akan tetapi yang menjadi ketakutan adalah adanya
oknum yang menggunakan identitas orang lain untuk menerima program sejuta rumah
ini sebagai peluang baginya untuk berinvestasi. Misalnya seorang saudagar kaya
raya yang membeli rumah dengan mengatasnamakan pembantu-pembantu, supir, atau
tukang kebunnya yang berasal dari kampung? Tentunya dengan iming-iming yang
disepakati kedua belah pihak, kemudian rumah itu dikontrakkan setelah serah
terima dilakukan. Bayangkan jika setiap saudagar kaya raya yang ada di wilayah
masing-masing melakukan kejahatan ini. Jelas saja ini kecurangan yang menyakiti
masyarakat. Sementara di sisi lain pemerintah telah berbangga diri dengan
capaian-capaian rumah yang dibangunnya? Apakah memang seperti itu budaya yang
mengakar di lingkungan pejabat kita? Menyelenggarakan sebuah program dan
melakukan perayaan ketika telah menyelesaikannya tanpa merasa perlu mengawal
program tersebut tepat sasaran kepada masyarakat? Kalau ketakutan ini benar
terjadi bagaimana pula langkah pemerintah dalam hal ini Ditjen Perumahan
mengantisipasinya?
Satu hal lain yang menjadi persoalan adalah bagaimana masyarakat miskin yang tidak memiliki penghasilan, yang selama ini tinggal di bilah-bilah bambu yang dindingnya berlapis koran dan alas tidurnya adalah karton bekas bisa mewujudkan mimpinya memiliki rumah? Keseriusan pemerintah dalam mewujudkan mimpi masyarakat untuk memiliki rumah selayaknya tidak dihitung dengan rumus bisnis semata. Persoalan kesejahteraan dan kehidupan layak bagi masyarakat yang telah diatur dalam konstitusi sepatutnya menjadi perhatian nomor satu. Barangkali ke depannya Ditjen Perumahan bisa memikirkan soal program lain yang mengatur setidaknya dalam setiap tahun membangun/merenovasi dan membagikan cuma-cuma rumah layak huni bagi masyarakat yang selama ini tinggal di dalam gubuk reyot yang menyedihkan. Tentunya dengan data yang sangat akurat dan pengawalan ketat agar sasaran tepat tak melesat.
Komentar
Posting Komentar