Cerpen ini pertama kali dipublikasikan oleh Harian Rakyat Sumbar, Sabtu, 9 Januari 2021
Mencari Ayah di Ibu Kota
Oleh: Alda Muhsi
Tangis menderas menghantam pualam pipi Uli yang tak miliki bendungan. Kulitnya yang mulus dan bentuknya yang tirus membuat air kepedihan itu jatuh menetes-netes di lantai sejauh langkahnya menjejak dari daun pintu menuju kamar tidur. Ibunya yang menyaksikan merajut wajah cemas sembari mengikuti laju tubuhnya.
“Kenapa kau, Boru1?”
Uli tidak menjawab, mulutnya terkunci lantaran menahan perih.
“Apa yang membuatmu begini? Katakanlah.”
Tak tega pula ia melihat ibunya menunggu jawaban, tapi tak kuasa ia bercerita. Baru saja ingin menyampaikan sebuah kalimat, banjir luruh menerjang dadanya yang sesak.
Ibunya seolah paham, menunda menagih muasal kesedihan yang mendera anak gadisnya. Ia segera meraih tubuh yang lemah dan basah itu untuk bertengger di dadanya yang ringkih. Sambil mengelus-elus punggung gadisnya yang pilu, ia pun mendesiskan rayuan untuk menawarkan kesedihan Uli.
“Tenanglah Boru, tak boleh berlarut dalam kesedihan, biar semuanya jadi pelajaran. Musim hujan sedang sering datang, kenapa kau ingin menambahnya semakin gigil?”
Tak lama setelah Uli menyandarkan kepalanya di dada ibunya yang tak bidang itu, ketenangan sedikit demi sedikit menyurutkan banjir hatinya. Ah, biarpun dada ibu telah tinggal tulang, masih saja menjadi tempat paling teduh dari segala gaduh.
***
Puluhan orang berkumpul dengan perlengkapan masing-masing. Mereka berarak menuju kantor bupati untuk mempertahankan tanah-tanah yang mereka anggap adalah hak.
Masing-masing mereka menjunjung selebaran karton berwarna-warni bertuliskan macam-macam. Isinya lebih galak daripada judul-judul berita media online yang tak terdaftar di dewan pers.
Jangan kencingi tanah dan kebun kami.
Tak hendak pantat kami berpindah tempat berak.
Begitulah salah duanya yang terlihat paling mencolok. Ditulis dengan huruf balok bertinta spidol biru tebal.
Tak lupa pita merah putih mereka lingkarkan di kepala yang penuh peluh dan amarah kebencian. Lengkap sudah atribut yang mereka kenakan ditambah pengeras suara merk toa tersampir di pangkal bahu seorang lelaki paruh baya pemimpin barisan.
Saat itu Uli masih sangat belia, usia kelas 4 sekolah dasar. Tentu tak cukup mafhum terhadap peristiwa yang terjadi. Tapi yang tak payah diingatnya, ia menyaksikan rumah dan kebunnya dihancurkan hingga sejajar tanah, sebelum mereka berangsur pergi menenteng genangan air di kantung mata. Selebihnya ia hanya mendengar apa yang dikisahkan ibu sebagai dongeng pengantar tidur. Sejak saat itu pula ia tak pernah lagi melihat batang hidung ayah sampai sekarang. Ibunya bilang ayah mencari keadilan di ibu kota.
Itulah yang mendesak hasratnya menginjak ibu kota. Dan itu pulalah pangkal petaka baginya. Apa yang dijumpainya di kota ternyata jauh lebih menyeramkan daripada cerita ibu perihal kerusuhan berlandas sengketa tanah di kampung halaman.
Bukan melampaui restu ibu, Uli hanya menolak permintaan ibu yang mengirim Pandes – saudara semarga ibu – menyertai langkahnya ke kota. Kalau saran yang satu lagi agar menjumpai satu-satunya orang yang dikenal dan dipercaya, yaitu rekan ayahnya, teman sekampung dahulu, Tulang Anes, dengan besar rida dijalankannya. Namun, itulah yang kemudian menumbuh bibit persoalan. Bukannya mendapat perlindungan, Uli malah diperlakukan dengan sangat tidak sopan. Awalnya ia disambut dengan ramah-tamah, tapi sekali waktu Uli mendapati Tulang Anes sedang asyik menyaksikan liukan tubuh moleknya dari lubang pintu kamar mandi. Entah kenapa waktu itu Uli lalai mengunci pintu kamar mandi, Tulang Anes yang sedang pasang berahi menonton Uli menyabuni tubuhnya tiba-tiba terpeleset oleh keset yang basah. Sontak pintu terbuka dan mata Uli terbelalak serupa tercabut nyawanya.
Ternyata bukan sekali itu saja. Mbok Ijah yang selama ini tutup mulut turut bicara.
“Setiap malam Bapak selalu mondar-mandir di depan kamar Uli, tiap Mbok tanya, katanya tidak apa-apa. Ya, Mbok melanjutkan sisa pekerjaan di dapur, kemudian masuk ke bilik kamar, mengintip dari pintu yang sedikit terbuka, Mbok lihat Bapak setengah jongkok menempelkan matanya di lubang kunci. Makanya kemarin Mbok sarankan supaya Uli tidur dengan baju dan celana berbahan panjang, jangan pakai tanktop dan celana sepaha lagi.”
Begitulah pengakuan Mbok Ijah ketika Uli menangis di bahunya.
“Sejak Uli datang rona wajah Bapak juga semakin cerah. Taulah, masih baru ditinggal istri. Awalnya Mbok gak pikir macam-macam, tapi akhirnya Mbok tau kenapa hal itu terjadi setelah mengetahui apa yang dilakukan Bapak tiap malam di depan kamar Uli.”
Jiwanya berontak menghadapi orang tak berotak itu. Ah, malang nasib, sudahlah kabar soal ayahnya tak dapat, malah ia jadi tontonan nikmat. Uli memutuskan angkat kaki dari rumah Tulang Anes. Tak ada alasan bagi Tulang Anes membelenggu Uli lebih lama. Ia mengizinkan gadis bermata redup dan berambut cokelat itu melangkah pergi dari rumahnya setelah ia melayangkan syarat agar Uli tidak menceritakan apa yang terjadi dengan siapa pun. Uli menyanggupinya saja, tak berat baginya menerima syarat apa pun, yang penting ia bisa bebas dari lingkungan neraka itu.
***
Mujur bagi Uli, tak sampai malam menggelandang ia telah mendapatkan pelabuhan baru. Sebuah usaha jasa laundry sedang membutuhkan karyawan yang bersedia kerja lembur dan disediakan tempat tinggal. Lokasinya di kawasan kampus ternama, yang anak-anaknya lebih suka menghabiskan waktu jalan-jalan ke plaza daripada mencuci dan menggosok baju. Dengan napas lega Uli mengajukan diri untuk pekerjaan itu. Tak payah baginya lembur mencuci dan menggosok, telah khatam ia di kampung sana.
Ternyata usaha apa saja di ibu kota sudah ada penunggunya. Tentu bukan setan gaib maksudnya. Macam-macam nama organisasi telah menjatah wilayah mana yang mereka pegang dengan alasan menjaga keamanan. Pilihan bagi pemilik usaha ada dua, setor bulanan atau mengizinkan pungutan parkir kepada konsumen. Tapi, itu pun tak jadi soal bagi Uli, toh bukan dia yang harus membayar setoran atau uang parkir, malah ia senang jadi mendapat teman ketika menjaga pelanggan mengambil atau meletak pakaian.
“Baru kau, Dek?” sapa si penunggu yang kemudian memperkenalkan namanya Nando.
“Gak salah kalau Abang bilang gitu. Ini hari pertama aku kerja di sini.”
“Oh, pantaslah, tumben si bos pintar milih pegawai, yang cantik ginilah dari dulu biar makin banyak pelanggan datang.”
Uli menyungging senyum. Entah pula luluh hatinya dengar rayuan basi dari mulut Nando.
“Ah, jangan bicara kek gitu Abang, tak ada jaminan pelanggan akan senang selain dengan pelayanan,” kata Uli menepis.
“Pelayanan pasti sudah tergambar dari kecantikan. Tengoklah bibir tipismu yang merah jambu itu selalu senyum, siapa yang tak candu menikmatinya.”
Begitulah tiang keakraban mereka bangun. Sampai akhirnya keduanya saling jatuh cinta.
Nando punya tekad untuk segera menikahi Uli, setelah berkali-kali ia mendesak memanen desah ditolak mentah-mentah.
“Jika kau betul cinta, jangan harap kau bisa melakukannya sebelum kita menikah secara sah.”
Besar benar pesona Uli hingga membuat lelaki garang tak jadi berang oleh penolakan itu. Malah ia tertantang untuk menjelma jadi lelaki sejati.
“Ya sudah kalau begitu aturlah waktu untuk bertemu orangtuamu.”
“Jangan terburu-buru, biar aku yang bicara lebih dulu.”
Entah kenapa Uli begitu yakin sampai menaruh hati di jantung lelaki itu. Keterpautan usia yang cukup jauh tak membuatnya menarik cintanya, malah lelaki itu dianggap telah matang memimpin rumah tangga.
Uli menelepon Pandes agar dapat disambungkan dengan ibunya untuk menceritakan niat lelaki kota yang ingin meminangnya. Tentu saja sang ibu terkejut, kenapa keinginan menikah begitu cepat dilontarnya, apakah ia telah digilir hingga hamil? Begitulah sangkaan sang ibu. Namun, seperti paham apa yang dipikirkan ibunya, Uli segera menganulir pikiran buruk itu.
“Tak perlu mamak khawatir, masih perawan aku. Cuma yang perlu kubilang tak punya marga calonku ini.”
“Sudah yakinnya hati kau itu? Jangan salah pilih agar tak sesal kemudian. Atau tak bisakah kau tolak, biarlah kau sama si Pandes paribanmu.”
“Pandes yang pikirannya tertangkup di kampung saja? Biarlah aku pada pilihanku ini, Mak. Atau paling tidak biarlah ia bertandang ke rumah kita, biar mamak menilai sendiri. Setuju tak setuju barulah kita bicara di belakang hari.”
Ibunya diam sebentar. Seberat-berat hati ibu memang lebih rela memeram sabar dan mengalah demi anak terkasih.
“Ya sudah datanglah, datanglah kemari.”
***
Matahari memulai langkah pertama menuju tempat peraduannya. Cahayanya memancar terik. Pandes dengan becak motornya sudah parkir di terminal bus menunggu tamu yang akan dibawanya pulang. Namun, bukan main! Alangkah terkejutnya ia ketika melihat sesosok lelaki di sisi Uli. Jantungnya terpompa menjadi dua kali lipat, darahnya seketika menggelegak bagai terbakar surya. Tapi berusaha ia tahan untuk menjaga keadaan. Ia sengaja membawa kedua penumpang itu ke rumah makan lebih dahulu.
Di sela menunggu pesanan datang, Pandes pamit mengajak Uli ke belakang. Ia menyerahkan selembar koran usang yang telah berlipat-lipat dalam dompet lusuhnya.
Ormas Bentrok dengan Masyarakat Soal Sengketa Lahan, Puluhan Orang Tewas.
Begitulah judulnya.
Belum sempat Uli membaca isi beritanya, Pandes mengeluarkan selembar koran lagi yang memuat wajah Nando.
“Bagaimana mungkin? Dialah orangnya.”
“Maksud Abang?”
“Ayahmu tidak pernah pergi ke kota, Uli. Ayahmu mati dihajar para preman berjubah ormas sewaan pemerintah biadab ini. Dan lelaki yang bersamamu adalah salah satu dari mereka.” Bibirnya yang lebar bergetar-getar ketika menyampaikan itu. Kesalnya telah mencapai puncak sehingga tak mampu menahan lebih lama rahasia yang ia dan ibu sembunyikan dari Uli.
Uli berupaya menahan ledak tangisnya. Hanya isaknya terdengar sesenggukan. Ia tak mau lebih lama dikuasai gerah yang tak berkesudah.
Ketika mereka kembali ke meja makan, Pandes merasa perlu melakukan hal bijaksana. Ia menyarankan agar Nando diantar ke penginapan terlebih dahulu untuk istirahat. Malamnya lepas Magrib barulah dijemput untuk bertemu orangtua Uli. Sepatuh dan selugunya orang asing, walau tak benar-benar asing, Nando mengangguk saja dengan rencana itu. Lagi pula punggungnya yang berotot telah terasa pegal akibat bersandar di bangku bus selama tiga jam.
***
Tangis Uli perlahan reda. Sementara tak ada yang bisa dilakukan Pandes selain memandangi wajah Uli yang penuh air mata bercampur ingus yang meleleh dari hidungnya yang bangir. Biarpun begitu, tak pula mengurangi banyak nilai kecantikan wajahnya.
“Kenapa mamak tak pernah bilang kalau sebenarnya ayah sudah mati dibunuh?” Uli melepas pelukan, serius memandangi sendu di mata ibunya.
“Dang jumpang dope tikkina2.”
“Jadi, sekarang mau bagaimana, Mak?”
“Kalau cuma tak punya marga, bisa kita beli. Tapi kalau soal kehilangan nyawa, ke mana cari ganti? Lelaki itu pula yang mau kau nikahi?”
Medan, 2020
Ket:
1 = Panggilan untuk anak perempuan
2 = Belum bertemu waktu yang tepat
Komentar
Posting Komentar