Oleh: Alda Muhsi
Antologi Cerpen Sampan Zulaiha karya Hasan Al Banna memuat 14 cerpen yang keseluruhannya telah dimuat di berbagai media. Antara lain: Kompas, Suara Merdeka, Analisa, Andalas, Majalah Tapian, Waspada, Majalah Horison, dan Jurnal Cerpen Indonesia.
Kalau boleh merangkum keempatbelas cerpen tersebut, rata-rata menceritakan persoalan kehidupan rumah tangga yang pelik, beredar di sekitar kita, terasa dekat, namun tidak klise dan hambar karena dihuni oleh tokoh-tokoh yang berkarakter kuat dan gaya bercerita (pilihan kata dan gaya ungkap) yang sangat indah. Ada yang bilang seperti bahasa puisi.
Tapi memang begitulah sastra, teks yang berisi nilai-nilai kehidupan yang luhur yang disajikan dengan bahasa estetis. sehingga dengan membacanya para pembaca mendapat pengetahuan dan pemahaman baru (lain) dalam menjalani kehidupan yang fana ini.
Kelebihan lain atau bisa dikatakan ciri khas dari antologi cerpen ini adalah tema yang diusung, yaitu perihal lokalitas. Hasan Al Banna tidak hanya menempel budaya lokal itu untuk menjadi hiasan memperindah karya fiksinya, ia bahkan menjadikan tradisi lokal itu sebagai biang konflik atau setidaknya konflik tambahan, serta menghadirkan istilah-istilah lokal (istilah budaya setempat) dalam gaya tuturnya.
Hanya Angin yang Terpahat di Rahang Pintu (Majalah Horison, Maret 2007)
Pertama kali yang ingin disampaikan, karakter tokoh yang dibangun begitu kuat. Narasi yang dihadirkan berwujud sebagai pondasi-pondasi yang kokoh yang menopang bangunan karakter si tokoh utama, begitu pula ketika tokoh pembantu muncul. Perbedaan karakter tokoh-tokohnya sangat kontras. Jadi kita bisa mengenal, menandai, dan mengingat masing-masing tokohnya.
Gaya cerita, diksi, untaian-untaian kalimat yang dituang membuat saya pribadi seperti baca karangan-karangan angkatan Balai Pustaka. Pun di cerita ini bukan hanya gaya penceritaannya, alurnya pun rada-rada mirip. Ditandai dengan anaknya merantau ke luar negeri, eh tau-tau gak mau balik karena nikah.
Ada kejutan yang menyentak hati. ya inilah sastra, teks yang tidak hanya bernilai estetik, tapi juga berperan dalam memengaruhi kelangsungan hidup manusia. Cerpen ini menyentak saya ketika saya membayangkan seorang janda yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya harus ditinggalkan lagi oleh kedua anaknya, dengan alasan keterbatasan ekonomi. Ketakutan tak mampu membiayai kehidupan anaknya. Bagi saya ini ada kaitannya bagaimana kita mendidik anak, memelihara keluarga (termasuk keuangan, walaupun yang lebih penting kondisi psikologi). Saya tidak bisa membayangkan ini terjadi dengan orang terdekat, istri misalnya, adik, atau saudara perempuan lain. Sakit pastinya. Oleh karenanya pandai-pandailah merajut hidup dengan keluarga berkeluarga.
Komentar
Posting Komentar