Langsung ke konten utama

Ulasan Seribu Kunang-Kunang di Manhattan karya Umar Kayam

 

Oleh: Alda Muhsi

Membaca teks sastra bagi saya tujuannya bukan hanya untuk mencapai kepuasan batin. Ada harapan untuk mendapatkan informasi baru atau informasi dengan sudut pandang lain yang belum saya ketahui sebelumnya. Kedua hal di atas saya dapatkan secara lengkap ketika membaca Kumpulan Cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan ini. Oleh karena itulah saya sangat senang membacanya, apalagi saya adalah pembaca baru “Umar Kayam”. Ada perasaan menyesal kenapa baru sekarang membacanya, coba dari dulu! Ya tapi segala yang terjadi pasti dengan alasan dan waktu yang tepat.

Menurut pembacaan saya yang singkat, dalam buku ini Umar Kayam menggunakan gaya ungkap apa adanya. Terkesan polos dengan memakai bahasa sehari-hari. Mungkin ini menjadi salah satu faktor pembaca begitu menikmatinya. Beliau memang mengangkat latar cerita yang jauh (Amerika), namun konflik dan gaya bahasa yang dituliskankannya menjadikan cerita-cerita dalam buku ini seolah tidak berjarak.

Dalam kesederhanaan gaya tutur itu terdapat pula analogi atau perumpamaan yang luar biasa menarik di setiap cerpen. Kita bisa mengambil contoh pada cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan sebagai berikut.

Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bermalam di sawah embahnya di desa. (hlm. 6)

Coba kita bayangkan maksud apa yang ingin disampaikan si penulis menyajikan analogi di atas? Gedung-gedung tinggi di sebuah kota besar yang riuh gemuruh oleh aktivitas orang-orang diibaratkan dengan kunang-kunang yang sebenarnya hanya akan ada pada kesunyisenyapan malam. Adakah ia menggambarkan seorang tokoh yang merindukan ketenangan di tengah kota besar yang beraktivitas selama 24 jam?

Perumpamaan lain juga bisa kita lihat pada cerpen Istriku, Madame Schlitz, & Sang Raksasa sebagai berikut.

New York adalah satu raksasa pemakan manusia. Raksasa ini, entah karena kena penyakit apa, tidak pernah merasa kenyang bia dia sudah makan berapa ribu manusia. Oleh karena itu mulutnya terus saja menganga, tidak sempat menutup. Sehingga manusia, putih, hitam, kuning, cokelat, besar, kecil, ditelannya tanpa pilih-pilih lagi. (hlm. 15)

Uniknya perumpamaan New York sebagai raksasa yang terus menganga dan kelaparan justru diikuti oleh keterangan lain tentang bau mulut sang raksasa dan penyakit cacingan, seolah raksasa sama dengan manusia yang bisa mengidap bau mulut dan cacingan. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Pertanyaan ini apabila dijawab tentulah menimbulkan rasa lucu sekaligus mengerikan.

Pada cerpen Sybil banyak pertanyaan yang muncul, tentang nasib Susan yang diikat dan ditinggalkan Sybil dengan dalih main rampok-rampokan. Kemudian tentang ayah Sybil, ibu Sybil dan apa pekerjaannya, bahkan tentang apartemen yang mereka tempati. Pertanyaan-pertanyaan itu akan menjadi kejutan ketika kita mengikuti rentetan cerita dengan teliti dari awal hingga akhir.

Cerpen-cerpen dalam buku ini membawa saya pribadi seperti sedang membaca karya sastra terjemahan. Cerpen-cerpen yang sedikit banyak menginformasikan kepada pembaca bagaimana budaya setempat (dalam hal ini New York). Terutama bagaimana kehidupan orang-orang di sana yang bebas yang digambarkan dengan detail oleh tokoh-tokohnya. Seperti minum bir, isap cerutu, kumpul kebo, seks bebas, dan lain sebagainya.

Eka Kurniawan mengatakan seorang penulis seperti Umar Kayam tak hanya seorang pendongeng yang melaporkan satu keping peristiwa kepada pembacanya, tapi jauh lebih penting adalah seorang teman bicara. Teman ngobrol.

Sebagai penutup, kekuatan cerpen-cerpen Umar Kayam terletak pada dialog-dialog yang membangun cerita, sehingga kita tidak akan bosan membaca satu per satu dialognya. Karena apabila kita kehilangan satu saja dialognya, maka kita akan kehilangan esensi cerita-ceritanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Syarat Pindah Alamat Berlangganan Indihome

sumber: google   Masa kontrakan habis, mau pindah ke kontrakan baru, tapi gimana dengan layanan indihome yang sudah terpasang? Tentu saja kita ingin memindahkan perangkat tanpa harus ada embel-embel pasang baru agar terhindar dari biaya pasang yang bernilai Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Itulah kemauan kita, tapi berbeda dengan aturan yang ditetapkan oleh pihak Telkom. Kejadian itu menimpa saya. Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke Plaza Telkom Jalan Putri Hijau Medan dengan tujuan untuk memindahkan perangkat i ndihome saya dari kontrakan lama ke kontrakan baru. Setelah naik ke lantai 2 (kantor pelayanan) saya mengantre beberapa saat, tidak pakai selembaran kertas nomor antrean, katanya mereka pakai sistem digital, pelanggan hanya dipotret, dan nanti tiba gilirannya CS akan menghampiri (sebuah inovasi pelayanan dan langkah bijak untuk menghemat pemakaian kertas). Tiba giliran saya untuk mengadu persoalan saya. Namun, jawaban sang CS tidak bisa menenteramkan hati,

[CERPEN ANAK] PR Feby

Akhirnya Redaktur Taman Riang Harian Analisa berkenan kembali mempublikasikan cerpen anak saya. Cerpen ini saya kirim bulan Oktober 2017 dan baru diterbitkan edisi Minggu, 7 Januari 2018.  Terima kasih saya haturkan, dan semoga berkenan menerbitkan cerpen-cerpen selanjutnya. Hehehe... Ayo menulis cerita anak untuk menyelamatkan anak-anak dari serangan game online dan medsos yang melumpuhkan akal. Ilustrasi: Analisa Oleh Alda Muhsi Feby merupakan murid kelas 2 sekolah dasar di SD Negeri 011. Setiap hari gurunya selalu memberikan PR dengan alasan untuk melatih daya ingat, dan membiasakan agar murid-muridnya rajin belajar. Dalam kelasnya, Feby termasuk murid yang rajin mengerjakan PR. Tak pernah sekalipun ia luput dari PR-nya. Feby telah dibiasakan orang tuanya agar sepulang sekolah harus menyelesaikan PR. Berbeda dari biasanya, hari ini sepulang sekolah Feby diajak Amanda untuk berkunjung ke rumahnya. Amanda merupakan seorang murid baru, pindahan dari Jakarta. Feby ya

Teja Purnama, Sosok Penyair Kota Medan

(Catatan ini ditulis pada tahun 2012 oleh Alda Muhsi, Ferry Anggriawan, dan Sari Uli Octarina Panggabean semasa kuliah saat bertemu di Taman Budaya Sumut) Teja Purnama Lubis, lahir di Medan pada tanggal 19 Januari 1973. Anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Asmara Kusuma Lubis dan Rosmiati. Yang kini berdomisili di jalan Karya gang Suka Damai no. 5-H Kecamatan Medan Barat. Mempunyai tiga orang anak dengan istri Awalina Nasution. Modal awal menjadi seorang penyair baginya adalah membaca. Sewaktu kecil, kakek dan ayahnya banyak meninggalkan buku sastra lama. Setiap minggunya ia juga disuguhkan majalah anak-anak seperti Majalah Bobo. Ia pun tak menyangka pada akhirnya setelah memasuki SMP, ternyata ia mencintai dunia sastra. Hal itu terlihat bahwa pada masa SMP ia telah hobi membaca puisi. Hal ini juga berlanjut pada masa SMA hingga kuliah setiap perlombaan baca puisi ia pasti mendapatkan juara 1. Setelah membaca puisi, ia juga menyalurkan bakatnya lewat tulisan ka